Kampus selalu ramai menjelang tengah hari. Suara obrolan, derap sepatu di lorong, dan tawa-tawa kecil mahasiswa seperti layaknya ocehan burung yang berkicau di pagi hari. Aku berjalan sendirian melewati selasar menuju kantin, sambil memainkn ponselku. Tiba-tiba ada satu bayangan berhenti di depanku. Aku endongakkan kepalaku.
"Lyana?"
"Akbar?"
Akbar langsung merangkul pundakku dan menanyakan hal yang tak terduga.
"Kamu dekat dengan laki-laki siapa aja di kampus ini?” Aku gak pernah menyebut nama itu, Gian.
Bukan karena malu, tapi karena takut. Takut jika suatu saat Akbar bertanya lebih jauh tentang Gian dan tertarik.
"Aku gak dekat dengan laki-laki manapun kok," Akbar mengangkat alisnya.
"Benarkah? Lalu yang bersamamu semalam sambil ngamen siapa? Kau jangan membohongiku, Sayang." Aku melotot tentunya, Akbar mengetahui itu.
"Oh? Aku hanya membantu anak jalanan mengamen, ya..."
"Benarkah begitu?" Aku terpaksa mengangguk.
"Baiklah, aku percaya padamu, Sayang. Tapi lain kali kalau memang mau pergi, kan bisa kirim pesan dulu ke aku, atau telepon, jadi aku tidak khawatir."
"Okay, siap! Akbar, aku ada kelas, aku duluan ya." Aku harus secepat mungkin berjalan supaya Akbar tidak lagi mencuirigaiku.
Tepat ketika aku berbelok ke arah taman kampus, ketakutanku semakin diperlihatkan secara langsung. Di sana ada Gian, sedang duduk di bawah pohon mangga taman kampus seperti biasanya, tempat favoritnya semenjak semester 1. Dengan gitar di pangkuan dan lingkaran kecil disekelilingnya.
Para gadis program studi seni, juga lelaki teater, bahkan beberapa dosen muda yang suka nongkrong, mereka semua memperhatikan Gian bernyanyi dengan suara bening, tegas, dan ketika nada tinggi pun sangat sempurna meskipun tangannya memetik senar gitar. Sungguh perpaduan yang tidak semua orang bisa memiliki bakat seperti itu.
Aku berdiri cukup jauh, tapi bisa mendengar suara khas itu mengalun lembut, dalam, serta penuh warna.
‘Aku hanya ingin melihatmu setiap hari~’
‘Memagang tanganmu yang indah, dan mengajakmu ke sebuah taman bunga~’
‘Menyelipkan bunga kecil ke telingamu~’
‘Hanya denganmu~’
Suara tepuk tangan bersahutan, Gian tersenyum dan sedikit membungkukkan badannya.
"Wah... bangus banget! Gila, ini sih harus menjadi idola kampus!" Sahut gadis-gadis yang menyukai suara Gian meskipun hanya bernyanyi tanpa microfon.
Seorang gadis tinggi dengan poni tebal menyodorkan botol air minum ke Gian.
“Minum dulu, Rockstar!” Katanya centil.
“Thanks, Trish!” Jawab Gian santai. Senyumnya yang begitu lebar membuat para gadis itu merasa meleleh di siang bolong yang begitu terik.
Tiba-tiba seorang lelaki mengenakan hoodie hitam duduk di samping kanan Gian. Menepuk punggungnya dengan begitu akrab.