Satu Lagu, Dua Hati

Nurul Adiyanti
Chapter #3

Pelukan Hangat Tak Terduga

"Kamu cantik banget hari ini."

Aku menoleh ke arah Akbar yang menyelipkan rambutku ke telinga. Jelas, aku sedikit merasa gugup karena yang melakukan itu adalah kekasihku sendiri. Kami baru saja keluar dari kelas sore dan hari masih seperti siang. Warna langit masih berwarna biru ditemani dengan teriknya sinar matahari yang seharusnya indah, tapi entah kenapa... hatiku justru berdegup tidak karuan.

"Terima kasih, kamu juga ganteng kok, malah tiap hari." Jawabku pelan.

Akbar menggandeng tanganku dan aku membiarkannya dengan suka rela. Tapi genggaman itu terasa lebih erat dari biasanya, seakan seperti ingin menuntut sesuatu.

"Kita jalan, yuk. Aku tahu tempat yang sepi dan tenang banget, aku yakin kamu pasti suka." Aku memilih diam, tak menjawab sedikipun ocehan Akbar, hingga Ia melanjutkan kalimatnya sendiri.

"Bagaimana kau kita ke curug? Memang di sana sepi, tapi kan udaranya sejuk, bisa melihat dedaunan hijau, dan lain sebagainya. Ayo, aku sudah mengisi full bensin di motorku loh, masa kamu gak mau?" Tambahnya, seolah tak memberiku pilihan. Dan aku mengangguk, pikirku hanya piknik seperti biasa saja, mungkin dia hanya menginginkan waktu berdua denganku karena kami berbeda fakultas dan jarak antara kampus 1 dan 4 itu jauh, maka dari itu dia memanfaatkan waktu seperti sekarang.

.

Curug itu benar-benar sepi, hanya terdengar suara air terjun yang bebas mengalir menuju bebatuan di bawahnya. Dedaunan kering itu berguguran, mengalir mengikuti arah aliran air terjun.

"Duduk sini," katanya. Aku duduk di atas tikar kecil yang dibentangkan, Ia duduk di sebelahku. Hanya ada kita berdua di tempat seperti ini.

Awalnya kami hanya mengobrol, tertawa kecil. Tapi kemudian, tangan Akbar mulai bergerak ke pinggangku. Membuka ujung baju yang kukenakan dan naik ke atas untuk mencari sesuatu yang dia inginkan di sekitar dadaku dan meremasnya. Aku terkejut dan refleks mundur sedikit. “Akbar... jangan.”

Aku jelas menolak, ini bukan pacaran yang kuinginkan! Aku tidak bisa menerima pacaran yang seperti ini. Aku memang mencintai Akbar, tapi bukan berarti aku harus menyerahkan seluruhnya kan? Aku masih ingin kuliah, aku ingin pacaran secara sehat seperti sebelum-sebelumnya. Meskipun aku tahu, risiko pacaran memang seperti ini, tapi aku tidak mau. Dia tertawa pelan, lalu mencoba mengusap rambutku.

"Ssshh... hanya sebentar saja. Kamu cukup nikmati saja apa yang kamu rasakan, hanya pelan kok. Aku hanya pengen pegang-pegang saja. Nggak yang aneh-aneh.”

Deg.

Kata-katanya sangat menjijikkan. Tangannya mulai bergerak ke arah pahaku yang hanya mengenakan rok se lutut, jelas itu memudahkan aksesnya untuk menyentuh bagian tertutupku. Semakin naik ke atas hingga ke bagian pangkal, dan ketika ingin membukanya, Aku segera menepisnya hingga tengan itu terlepas dari rok yang kukenakan.

“Stop! Jangan...” suaraku bergetar.

“Yaelah, sayang. Aku ini pacarmu, masa gitu aja gak boleh?” Suara Akbar berubah menjadi kasar dan dingin. Dari raut wajahnya juga terlihat kalau dirinya mulai emosi karena penolakanku tadi.

"Kamu udah kelewatan, ini udah cukup jauh, Akbar."

"Jauh apanya? Orang hanya pegang doang. Bilang aja kamu gak benar-bebar cinta sama aku!" Bentak Akbar. Dan aku hanya bisa menunduk. Tak berani marah. Takut.

Hari-hari berikutnya, hidupku rasanya seakan seperti berada di neraka yang berjalan pelan. Setiap bertemu, Akbar akan memelukku terlalu erat, mengelus bagian yang tak seharusnya. Dan setiap kali aku menolak, dia hanya tertawa dan selalu mengatakan,

“Kan hanya pegang, bukan yang lain.” Atau selalu berlindung dibalik kalimat,

"Kamu gak sungguh-sungguh ya cinta sama aku? Kalau kamu memang cinta sama aku ya diam, buktikan!" Selalu hal itu yang dikatakan Akbar dan aku sudah muak. Masa setiap hari aku harus menerima pelecehan ini?

Seperti sekarang, Akbar memojokkanku di toilet umum kampus ketika semua orang sedang berada di jam kuliah. Dia memagut bibirku dengan intens dan kasar, belum lagi kancing baju bagian atasku dibuka untuk mempermudah dia menyentuh bagian dadaku. Kedua tanganku mengepal erat. Ingin rasanya aku mendorong lelaki di depanku ini, tapi aku takut kalau Akbar berbuat lebih kasar dan menyiksaku.

"Akbar... ini di kampus, bisakah jangan sekarang?"

Lihat selengkapnya