Matari siang itu tak terlalu terik, bahkan angin sore mulai menghembus lembut di sela-sela dedaunan taman belakang fakultas. Lyana duduk sendirian di bangku kayu panjang, dikelilingi suara burung gereja yang riuh di pepohonan. Buku catatan terbuka di pangkuannya, pulpen biru sudah mendaratkan banyak coretan, tapi pikirannya tak fokus. Ia sedang mencoba menyusun naskah tugas observasi, tapi pikirannya entah mengapa terus memutar ulang satu adegan yang sulit dilupakan, yaitu ketika Gian memeluknya malam itu.
Tiba-tiba, aroma makanan hangat menyeruak. Langkah kaki mendekat dan menghentikan lamunannya.
“Aku tahu kamu belum makan,” suara itu familiar, lembut tapi penuh keyakinan. Siapa lagi kalau bukan Gian. Lelaki itu berdiri di depan Lyana sambil mengangkat kotak bento yang baru dibeli. Uap hangat masih menari di udara.
“Tadi aku lewat kantin, eh ada makanan yang kamu suka. Aku beli sekalian,” katanya sambil duduk di samping Lyana dengan santai, seolah ini adalah rutinitas biasa.
Lyana mengerjapkan mata, setengah tidak percaya.
“Sejak kapan kamu hafal makanan favoritku?”
Gian menoleh dan tersenyum tipis.
“Sejak kamu nangis di pelukanku malam itu, hehehe.”
Jantung Lyana berdetak tak karuan. Suasana di antara mereka menjadi aneh. Biasanya Lyana akan melempar sesuatu ke Gian jika lelaki itu mulai bercanda, tapi kali ini tidak.
"Makasih ya, Gi."
"Untuk?"
"Semuanya, kalau gak ada kamu, mungkin aku udah..." Lyana tidak sanggup melanjutkan kalimatnya, dan Gian mengerti itu.
"Gak masalah, semua sudah terlewat, yang penting sekarang kita menatap ke masa depan. Karena sahabat gak ada kata makasih, kita saling dukung dan membantu." Hati Lyana pun menghangat dengan kedua mata berkaca-kaca dan senyuman di bibirnya.
"Udah, cepat di makan, keburu dingin itu,"
"Gak mau ah, pengen disuapin,"
"Yaelah... iya deh, bayi gede ini lagi manja pengen disuapin, hahaha." Gian menyuapi Lyana, dan mereka tertawa.
"Udah, aku bisa makan sendiri, wle." Lyana menghadap ke depan. Sedangkan Gian mengambil gitar di punggungnya dan diletakkan di pangkuannya. Memeriksa beberapa senar yang putus. Lyana langsung melirik.
"Maafin aku ya, Gi. Gara-gara aku, senar gitarmu jadi putus," Gian mendongak.
"Gak papa, Ly. Ini masih bisa dibenerin sendiri kok." Kata Gian tersenyum.
'Gi, kamu benar-benar laki-laki yang baik. Aku beruntung punya sahabat sepertimu.' Batin Lyana tersenyum.
Seiring hari-hari berlalu, perhatian Gian pada Lyana makin jelas terlihat. Bukan hanya sesekali bawain makanan atau nebengin pulang, tapi juga muncul tiba-tiba di luar kelas Lyana hanya untuk berkata,
“Aku tunggu ya, jangan lama-lama di kelas.” Kadang hanya duduk diam sambil main gitarnya di tangga gedung, kadang dengan ekspresi jutek pura-pura, tapi matanya selalu mencari Lyana.
Semua itu tidak luput dari pengamatan banyak mata.
“Eh lihat deh, si Gian makin lengket sama Lyana ya...”
“Iya, padahal dulu tuh Gian cuek dan biasa aja ke semua cewek. Sekarang malah seperti sepasang kekasih."
Bisik-bisik itu makin ramai, terutama dari kalangan mahasiswi yang dulu biasa nempel Gian. Mereka kesal, bingung, bahkan beberapa mulai menyindir secara halus.
Dan tentu saja, semua itu sampai juga ke telinga Naomi. Nama yang tak asing bagi siapapun di kampus. Cantik, dominan, pintar, aktivis berbagai organisasi, dan hampir selalu ada di sisi Gian saat ada acara musik akustik atau proyek kampus. Ia pecinta suara Gian tingkat akut.
Hari itu, saat Lyana baru saja keluar dari ruang seminar, Naomi menghadangnya dengan senyum manis penuh perhitungan.
“Lyana, ya?” Naomi menyapanya dengan suara lembut tapi terdengar tajam.
Lyana terkejut, buru-buru membenarkan letak tas di pundaknya.
"Iya, ada apa?”
Naomi menyilangkan tangan di dada, bibirnya tersenyum, tapi tatapannya menusuk.
“Kamu sekarang sering banget ya bareng Gian. Hati-hati, jangan sampai kamu bikin dia lupa siapa yang selalu ada bantuin dia selama ini di organisasi.”
Lyana terdiam, nafasnya seolah tercekat. Ia tidak ingin membuat keributan, tapi juga tak tahu harus berkata apa.