Hujan turun malam itu, bukan deras, tapi cukup untuk menambah sunyi jalanan di sekitar kampus. Gian baru saja menyelesaikan sesi latihan vokalnya di studio musik kampus. Ia sendirian, seperti biasa, memainkan gitar sambil mencoba menyusun lirik baru yang tak sengaja terinspirasi dari wajah orang yang Ia perhatikan selama ini.
"Hah... sepertinya cukup sampai di sini dulu latihannya. Kurasa, suaraku masih bagus aja, pasti Lyana akan senang jika mendengarnya." Gian memasukkan bukunya ke dalam tas dan menenteng gitarnya yang sudah dimasukkan dalam sarung gitar berwarna hitam.
Keluar dari studio dengan hoodie creamnya yang basah oleh gerimis. Tidak ada yang aneh, tapi Ia tidak tahu bahwa ada sepasang mata yang mengikuti langkahnya dari jauh. Ia pun berlari sebelum hujan semakin deras dan membasahi tubuhnya, menyusuri jalan raya dengan cahaya lampu yang redup.
Dua orang lelaki berbadan kekar mengikutinya dari belakang. Gian menghentikan langkahnya dan mencoba menengok ke balakang. Benar saja, di sana terdapat dua orang berbadan kekar dan wajah mereka tertutup masker yang mendekat. Gian mulai panik, tapi mencoba melawan rasa takutnya dan berhenti.
"Siapa kalian?"
"Kau tidak perlu tahu siapa kami! Kami hanya ingin mengingatkan bahwa kau jangan pernah mendekati Lyana lagi!" Dan Gian langsung tahu itu suruhan siapa.
Mereka mulai memukul pipi Gian dengan keras. Gian membalas tentunya, tapi karena badannya yang kecil, seakan tidak seimbang dengan kekuatan mereka yang berbadan besar dan kekar. Satu pukulan mereka sudah membuat sudut bibir Gian berdarah. Pukulan kedua begitu keras mendarat di perut Gian. Gitar yang tadi yang menjadi pelindungnya untuk menghantam orang kekar itu, kini jatuh menghantam tanah. Hingga yang terakhir pukulan lain menyusul ke sisi rusuknya.
“A...ARGH!” Tubuh Gian terhuyung dan berakhir terjatuh di aspal jalan raya yang basah.
"Dasar banci kampus! Mampus kau!"
Salah satu dari mereka kembali menendang keras ke arah dadanya ketika Gian sudah tergeletak tak berdaya di aspal.
"Sudah, bro! Dia bisa mati, nanti kita akan kena masalah!" Kata salah satu orang itu.
"Ayo kita pergi!"
Pandangan Gian mulai memburam, seiring dengan rasa sakit yang dirasakannya di dalam tubuhnya, darah merembes dari sudut bibirnya. Dunia terasa berputar, kemudian gelap.
Kabar itu menyebar cepat di kampus setelah Gian dipukuli hingga ternyata mengalami koma di Rumah Sakit.
Lyana mendengarnya pagi-pagi dari story teman kampus. Tangannya gemetar ketika membaca story tersebut. Biasanya jika tentang Gian pasti ketika lelaki itu sedang bernyanyi di taman kampus, tapi kali ini tidak.
'Doain Gian, dia dipukuli orang asing yang bukan dari kampus. Dan sekarang masih koma di RS.'
Seketika, dunia Lyana berhenti.
Ia menjatuhkan ponselnya, napasnya tercekat, dan hanya satu kata yang keluar dari bibirnya.
“Astaga, Gian...”
"Gian, maafkan aku... bahkan disaat kamu kesusahan, aku tidak bisa membantumu." Kedua mata Lyana berkaca-kaca.
Suasana rumah sakit begitu mencekam. Ruang ICU dipenuhi bunyi mesin yang berirama tak menentu. Gian terbaring diam, selang infus di tangan, diiringin dengan oksigen menutup hidungnya, dan perban membalut sisi rusuk kirinya yang patah. Sudut bibir dan pipinya yang lebam juga sudah diobati.
Di ruang tunggu, seorang wanita paruh baya duduk dengan wajah bengkak karena menangis, Ia bersama dengan suaminya dan anak pertamanya. Di sampingnya, seorang gadis muda, kakak Gian berusaha tegar, meski air mata juga menetes diam-diam.
"Sudahlah, jangan ditangisi. Lebih baik kita berdoa untuk Gian," kata Suaminya, yaitu Tuan Keano.