Satu Lagu, Dua Hati

Nurul Adiyanti
Chapter #7

Aku Sembuh, tapi Kamu yang Sakit

Malam teramat sepi, hanya terdengar dengkuran pelan dan suara detak mesin medis yang monoton, sesekali diselingi dengkuran kecil dari orang lain di ruang rawat itu. Tapi buat Gian, semua terlihat jauh, seperti gema dalam mimpi. Tubuhnya menggeliat, napasnya memburu, bahkab keringatnya membasahi kening dan mebgalir hingga lehernya. Tiba-tiba, matanya terbuka lebar.

“LYANA!!” Teriaknya, parau dan panik, seperti baru diseret keluar dari mimpi buruk.

Semua orang di ruangan sontak terbangun. Termasuk Tuan Keano, Mira, yang tidur di sofa dalam posisi duduk, dan Nyonya Bella, yang duduk setia di kursi dekat ranjang. Ia segera berdiri dan mendekat dengan wajah cemas.

“Ada apa, Gian? Bagian mana yang sakit? Mama panggilkan dokter, ya,” ucapnya terburu-buru sambil meraba dahi putranya.

Namun Gian menggeleng keras, matanya masih liar mencari sesuatu.

“Aku harus menemui Lyana, Ma!” katanya setengah panik.

“Tidak, Gian. Ini sudah malam! Dan kondisimu masih belum pulih,” suara Nyonya Bella terdengar tegas, namun matanya mengkhawatirkan.

Gian mencoba menegakkan tubuhnya di ranjang, meskipun tubuhnya masih lemah.

“Aku harus... harus lihat dia,” desisnya.

Namun belum sempat Ia bangkit sepenuhnya, rasa nyeri menyergap dadanya.

“Akh... shhh…” keluhnya, matanya terpejam menahan sakit.

“Sudah Mama bilang, kan?” Nyonya Bella memegang bahunya dan mendorong pelan agar ia kembali bersandar.

“Kamu masih sakit, jangan nekat pergi kemana-mana dulu. Apalagi hanya untuk menemui gadis tidak berguna itu! Mama tidak akan izinkan! Kau mengerti?” katanya dingin, penuh tekanan.

Gian membuka matanya perlahan, menatap sang Ibu. Tak ada tenaga untuk melawan, hanya luka di hatinya yang semakin dalam. Ia menggigit bibir, menahan segala gejolak di dada.

Maafkan aku, Lyana. Kita bahkan sudah terlalu lama tidak bertemu. Aku sangat merindukanmu… Tapi aku belum bisa menemuimu sekarang.

Batin Gian menjerit dalam diam. Perlahan, matanya kembali terpejam, dan Ia jatuh tertidur di tengah kabut penyesalan yang menggantung.

Langit perlahan berubah warna. Awan putih pun bergeser, memberi ruang bagi sinar matahari yang perlahan menembus jendela rumah sakit. Sinarnya menyentuh wajah pucat Gian yang masih terbaring. Ia mengedip pelan, matanya menyapu ruangan, lalu berhenti pada sosok yang berdiri di dekat ranjangnya.

“Gian, kamu sudah bangun?” suara itu terdengar riang.

“Pas banget, aku bawain buah buat kamu makan nanti setelah sarapan bubur rumah sakit,” kata Naomi sambil tersenyum, menunjukkan plastik bening berisi irisan apel dan pir.

Namun Gian hanya memalingkan wajah, menatap ke arah jendela. Bukan wajah yang ia harapkan. Bukan suara yang ia cari.

“Naomi, lebih baik kamu kompres tubuh Gian dulu dengan air hangat ini,” perintah Nyonya Bella yang tiba-tiba masuk sambil membawa baskom kecil.

“Baik, Tante,” jawab Naomi dengan cepat, mengambil kain dan mulai bekerja dengan hati-hati. Namun diam-diam, sorot matanya memancarkan sesuatu yang tak sederhana, melainkan hanya ambisi, dan rasa ingin memiliki hati Gian.

Naomi merendam kain ke dalam air hangat di baskom, lalu memerasnya pelan sebelum meletakkannya di dahi Gian. Tangannya bergerak lembut, namun matanya terus mencuri pandang ke wajah laki-laki itu. Wajah yang waktu di kampus selalu tersenyum padanya, kini tampak dingin dan jauh.

“Gian... kamu pasti masih lemas, ya?” bisiknya lembut, berusaha memancing reaksi.

Gian memilih untuk tidak mengatakan apapun. Ia memejamkan mata, berharap diamnya bisa mengusir kenyataan yang sedang Ia jalani. Kain hangat di dahinya hanya menyentuh kulit. Tapi kesepian? Itu merayap sampai ke tulang. Sejak Lyana tidak berada di sampingnya lagi, rasanya seperti hidup di rumah kosong, memang lengkap, tapi terasa hampa.

“Aku tahu kamu sedih, tapi kamu harus bangkit, Gian,” Naomi kembali berkata, kali ini dengan suara yang sedikit lebih jelas.

“Mungkin memang tak semua orang pantas kamu perjuangkan.”

Ucapan Naomi membuat mata Gian terbuka seketika. Ia menatap ke arah langit-langit, mencoba menahan amarah yang mendadak membuncah.

“Jangan bicara seolah kamu tahu segalanya,” gumamnya lirih, tapi cukup membuat Naomi terdiam sejenak.

Nyonya Bella, yang sejak tadi mengatur botol infus, ikut menimpali,

“Naomi hanya ingin yang terbaik untukmu, Gian. Tidak seperti Lyana yang hanya datang untuk menyakiti dan pergi sesuka hati.”

“Cukup, Ma…” Gian akhirnya menoleh, suaranya serak tapi tajam.

Lihat selengkapnya