Naomi mulai kehilangan kesabaran semenjak Gian semakin cuek padanya setelah keluar dari rumah sakit. Ia mendatangi kampus dan mencari Gian di setiap sudut, dari lobi fakultas sampai kantin belakang yang biasa jadi tempat nongkrong Gian bersama teman-temannya. Ia juga mencari di taman kampus tempat biasa Gian bernyanyi menggunakan gitarnya, tapi tidak ketemu juga. Seperti sekarang ini, Naomi akhirnya bertemu Gian di lorong fakultas, Naomi langsung menghadangnya dengan nada tajam, matanya menyala oleh emosi yang tertahan. Ia juga menyilangkan tangannya di dada.
"Kenapa kamu selalu menghindar dariku, Gian? Kamu pergi ke mana aja selama ini, hah? Setiap kali aku mencarimu, kamu selalu hilang!" Bentaknya, suaranya cukup keras hingga beberapa mahasiswa yang lewat sempat menoleh penasaran.
Gian hanya menarik napas pelan, memilih diam daripada membalas kemarahan Naomi yang meledak-ledak. Tapi justru sikap diam Gian itulah yang semakin membakar emosi Naomi. Ia merasa tidak dianggap, merasa tidak diprioritaskan dan itu menyakitkan egonya.
"Memangnya kenapa? Jangan pernah bersikap seolah kamu adalah kekasihku, Naomi. Kau sudah berlebihan!" Sahut Gian yang ternyata kalimatnya langsung menusuk relung hati Naomi.
"Berlebihan apanya? Aku menyukaimu dari lama, Gian! Tapi please, kali ini lihat aku," Naomi mulai menyentuh lengan Gian, tapi Gian segera menepisnya.
"Maaf, aku gak bisa menyukaimu balik, Naomi. Jadi lebih baik kamu suka dengan laki-laki lain yang lebih normal saja." Kata Gian yang langsung pergi dari tempat itu. Sedangkan Naomi sudah mengepalkan kedua tangan di sisi pahanya.
"Lihat saja, aku akan membuatmu jatuh dan berlutut untuk menyukaiku balik, Gian!"
_
Amarah dan rasa frustrasi yang terus menumpuk, membuat Naomi semakin gencar mempengaruhi orang tua Gian. Ia sering datang ke rumah Gian dengan wajah manis penuh sandiwara, berbicara dengan nada lembut pada Mama Gian, menyisipkan kata-kata halus yang menyudutkan Lyana. Perlahan, Ia mulai berhasil membuat Mama Gian mulai bersikap dingin setiap mendengar nama Lyana disebut. Naomi menang dalam permainan manipulasi yang licik namun efektif. Seperti sekarang, Naomi duduk di ruang tamu rumah Gian dengan ekspresi dibuat-buat polos. Rambutnya disisir rapi, bajunya wangi parfum lembut, dan senyum manisnya tampak begitu menawan di depan Mama Gian. Ia memainkan ujung gelas yang dipegangnya, berpura-pura gugup.
“Tante,” ucap Naomi lembut, suaranya dimanis-maniskan.
“Aku nggak bermaksud ikut campur, tapi aku khawatir banget sama Gian...”
Nyonya Bella, yang sedari tadi duduk menatap Naomi dengan penuh perhatian, langsung mencondongkan tubuhnya.
“Kenapa, sayang? Kenapa kamu khawatir? Apakah Gian menyakiti hatimu?” Naomi menunduk sedikit, seolah sedang menahan emosi.
“Dia sering pergi ke tempat itu, Tante. Ke rumah sakit jiwa daerah, tempat Lyana dirawat. Ya apa lagi kalau gak ketemu dengan Lyana. Gian kan emang selalu ingin menemui gadis itu,"
Raut wajah Mama Gian langsung berubah, sorot matanya mengeras.
"Jadi... dia dirawat di rumah sakit jiwa? Apakah gara-gara kita mengusirnya saat itu?" Tanya Nyonya Bella.
"Kurasa bukan karena itu deh, Tante. Mungkin karena hal lain. Tapi yang agak aku suka, Gian jadi lebih perhatian dan menemui Lyana." Kata Naomi.
“Padahal aku hanya ingin dia fokus kuliah. Aku sayang sama Gian, Tante. Maka dari itu aku bahkan rela nunggu dia meskipun dia selalu menjauh akhir-akhir ini. Tapi... dia malah terus-terusan datang ke tempat itu, ke cewek yang...” Naomi pura-pura terisak pelan,
“Yang bahkan udah bikin keluarga Tante malu sebelumnya...” Tangannya meremas pelan tangan Nyonya Bella yang kini mulai tersulut emosinya.
"Iya, Tante tahu perasaan kamu kok, Naomi. Nanti Tante akan menelpon Gian dan memaksanya untuk cepat pulang setelah kuliah." Naomi menampilkan senyuman kemenangan.
***
Puncaknya ialah ketika setiap kali Gian mengunjungi Lyana di Rumah Sakit Jiwa meskipun hanya sekadar menemani atau memastikan Lyana baik-baik saja. Telepon dari Mamanya selalu datang secara tiba-tiba. Menyela momen disaat Gian dan Lyana sedang berbicara dan bercanda tawa, seolah Mamanya tahu persis ke mana Gian pergi.
"Gian, pulang sekarang juga!" kata Mama Gian dengan nada tegas dari seberang telepon.
"Kamu nggak perlu buang waktu buat hal-hal yang nggak jelas dengan gadis itu lagi!"
"Baik, Ma."
Dan itu membuat batinnya semakin tertekan. Di satu sisi, Ia ingin melindungi Lyana, tapi di sisi lain, tekanan dari keluarganya yang mulai percaya penuh pada Naomi membuatnya terasa mencekik.
"Siapa, Gian? Mama kamu ya?" Gian mengangguk.
"Mama kamu benar, harusnya kamu tidak menemani orang gila ini, Gian."
"Lyana, bukan seperti itu..."