Satu Lagu, Dua Hati

Nurul Adiyanti
Chapter #10

Ketakutan yang Terjadi

Siang itu, Gian dan Lyana berjalan berdampingan menyusuri trotoar kampus yang masih dipenuhi dengan beberapa mahasiswa. Matahari sangat terik, menyisakan awan yang menyapu langit dengan lembut. Di tangan masing-masing, mereka menggenggam es krim yang baru dibeli dari warung kecil dekat gerbang masuk.

“Ly, kamu lebih suka rasa cokelat atau vanila?” tanya Gian tiba-tiba, menoleh ke arah Lyana yang sedang menikmati suapan kecil es krimnya.

“Vanila lah... klasik, polos, lugu, dan nggak neko-neko seperti kamu,” jawab Lyana sambil tersenyum geli. Skak mat! Sekarang Gian yang kena rayuan Lyana. Gian pun tertawa kecil.

"Aku? Klasik? Hmm... klasik yang gampang nyebelin gitukah maksudmu?”

Lyana hanya mengangguk, lalu balas menyuapkan es krim ke mulut Gian dengan santai, tanpa sungkan. Mereka pun saling menyuapi satu sama lain.

“Yap! Bedul.” Katanya ringan.

"Apa itu Bedul?"

"Betul maksudnya, masa gitu aja gak tahu? Ih gak gaul si Gian, issh!"

Mereka tertawa kecil, seperti dua anak remaja yang sedang jatuh cinta diam-diam, padahal kenyataannya mereka sudah bertahun-tahun saling mengenal. Hanya saja, siang itu, rasanya seperti baru buku yang membuka halaman pertamanya.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah taman kecil yang berada tak jauh dari aula terbuka. Di sana, Gian langsung menunjuk ayunan berkarat yang tampak sepi.

“Ayo kita naik itu! Biar aku bisa lihat kamu bahagia seperti anak kecil,” katanya sambil menarik tangan Lyana pelan.

“Tumben kamu lucu begini,” gumam Lyana, mengikuti langkah Gian.

“Tumben? Aku lucu tiap hari, kamu aja yang gak menyadari itu.” Sahut Gian, terdengar bangga dengan dirinya sendiri.

Lyana duduk di ayunan, dan Gian berdiri di belakangnya, mendorong pelan. Suasana begitu tenang, hanya diisi suara derik rantai ayunan dan tawa mereka yang sesekali pecah di antara hembusan angin.

Sore pun tiba, Lyana menemani Gian latihan vokal di sebuah studio kampus. Masih ada dosen yang mengajar di kelas vokal itu. Gian tidak sendiri tentunya, ada beberapa mahasiswa dari kelas lain pula yang ikut juga.

"Gian, sekarang giliranmu untuk melatih suaramu,"

"Pak, Gian sih suaranya udah bagus, apa yang perlu dilatih?" Kata Anton.

"Meski suara sudah bagus, tetap dilatih supaya nanti kalau ada suatu penampilan entah itu acara kampus atau yang lain suara bisa lebih maksimal." Lyana yang duduk di samping Gian pun berbisik.

“Sayang banget gak ada gitar, padahal pengen banget denger kamu nyanyi sambil gitaran,” ucap Lyana sambil menghela napas.

"Tapi gitar kamu kan..." Lyana seketika mengingat tentang waktu Ia yang menjadi penyebab gitar Gian rusak dan sudah tidak berbentuk lagi. Gian yang mengerti itu segera mengalihkan pembicaraan.

“Gitar mah nggak penting, yang penting adalah vokal, dengerin ya,” jawab Gian sambil menegakkan punggung, lalu mulai menyanyi pelan.

Suaranya mengalun lembut di antara riuhnya mahasiswa yang baru pulang dari kuliah mereka. Meski tanpa alat musik, ketulusan dalam nyanyiannya membuat beberapa mahasiswa yang lewat berhenti sejenak dan ikut mendengarkan dari kejauhan. Satu per satu, mereka berkumpul tanpa diminta, terpaku pada suara Gian yang membawa rasa hangat entah dari mana datangnya. Saat lagu selesai, tepuk tangan bergema di sekitar studio.

“Siapa tuh yang nyanyi?” bisik salah satu mahasiswa.

“Suaranya bikin merinding... ayo ke sana!” ajak yang lain dengan mata berbinar.

Namun, tak semua pasang mata memandang dengan kekaguman. Dari kejauhan, Naomi berdiri diam di balik tiang penerangan taman, menatap Lyana dengan sorot mata penuh amarah yang disimpan rapat-rapat.

“Sekarang kamu bisa tertawa begitu, Lyana...” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.

“Tapi tidak dengan hari berikutnya setelah ini. Kita lihat saja, siapa yang menang dan siapa yang kalah mendapatkan hati Gian.”

Beberapa jam berlalu, langit semakin menghitam pekat dan udara mulai terasa lembap. Kebanyakan penghuni kos sudah kembali ke kamar masing-masing, menarik tirai jendela dan merunduk dalam keheningan malam. Namun itu tidak berlaku bagi Gian dan Lyana, mereka masih duduk di depan pintu kamar mereka yang letaknya bersebelahan. Punggung keduanya saling membelakangi, seolah tak saling peduli, padahal sesekali mereka tetap bertukar kata, entah menanggapi atau hanya sekadar menyela keheningan. Percakapan mereka mengalir pelan, ditemani cahaya lampu teras yang temaram, cukup untuk menyingkap siluet bayangan di antara mereka. Gian mengawali pembicaraan untuk memecah keheningan malam.

“Ly, kamu percaya reinkarnasi nggak?” Lyana melirik malas.

“Hmm? Kenapa nanyanya mendadak?” Gian menatap langit dengan tatapan mendalam.

Lihat selengkapnya