Satu Lagu, Dua Hati

Nurul Adiyanti
Chapter #11

Satu Lagu Untukmu

Hujan turun deras malam itu, membasahi seluruh kota dengan hawa dingin yang menusuk tulang. Di tengah jalan yang sepi, Gian berlari tanpa mempedulikan pakaiannya yang sudah basah kuyup, matanya terpaku pada sosok Lyana yang tergeletak tak sadarkan diri di pinggir trotoar. Tubuh gadis itu menggigil, wajahnya pucat pasi. Tanpa pikir panjang, Gian segera mengangkat tubuh Lyana ke pelukannya.

"Lyana... bangun, ini aku, Gian..." bisiknya panik, tapi gadis itu tetap terdiam, matanya terpejam rapat.

Dengan langkah tergesa, Gian membawanya menuju kost. Sesampainya di sana, Ia langsung mengetuk pintu rumah Ibu Kost dengan panik.

"Ibu... tolong, Lyana pingsan, bajunya basah kuyup dan saya tidak bisa menggantikannya. Saya butuh bantuan Ibu untuk menggantikannya." Ibu kost pun menyetujui dengan mengangguk cepat, tatapannya berubah khawatir saat melihat kondisi Lyana.

"Letakkan saja dia di kamarnya, nanti biar Ibu bantu."

Setelah berganti pakaian kering dengan bantuan Ibu kost, Gian duduk di sisi tempat tidur Lyana dan mulai mengompres kening gadis itu dengan handuk dingin. Hatinya terasa sesak melihat Lyana terbaring tak berdaya seperti itu. Beberapa menit kemudian, Ibu kost masuk lagi sambil membawa secangkir jahe hangat.

"Kalau dia bangun, suruh dia minum ini, Nak." Gian mengangguk.

"Terima kasih, Bu."

Tak lama, Lyana mulai mengerang pelan. Matanya terbuka perlahan, menyipit karena pusing yang masih membekas.

"Gian?"

Gian tersenyum lega. Gadis yang sedari tadi ini ditunggunya sudah sadar juga.

"Akhirnya kamu bangun juga, kamu kenapa sih sebenarnya, Ly? Kok sampai pingsan di tengah hujan tadi. Aku khawatir, tahu, pakai bilang di chatting kalau kamu lagi pengen sendiri, bikin aku overthinking tahu gak." Kata Gian. Lyana memalingkan wajah, tak ingin memperlihatkan matanya yang basah karena air mata yang tertahan. Ia meneguk perlahan minuman hangat yang diberikan Gian, lalu menarik napas dalam.

"Aku hanya... kelelahan saja, kamu gak perlu terlalu khawatir begitu, aku gak apa-apa kok," jelasnya, menyembunyikan kenyataan sesungguhnya.

Malam itu, di balik selimut hangat dan keheningan yang membungkus kamar, Lyana membuat keputusan. Untuk kali ini, Ia ingin egois. Ia tidak akan mengatakan pada Gian bahwa Ia sedang mengandung. Ia ingin tetap berada di samping pria itu sebagai sahabat atau bahkan pacar kalau bisa. Ia tahu, mengungkapkan semuanya sekarang hanya akan membuat jarak diantara mereka. Dan Ia terlalu lelah untuk kehilangan lagi. Apalagi jika harus kehilangan Gin, orang yang paling Ia butuhkan dan cintai, itu adalah mimpi terburuk yang tidak ingin Lyana alami.

“Aku baik-baik saja, Gian. Terima kasih karena selalu datang saat aku butuh.” Lanjutnya lembut.

Gian menggenggam tangannya sebentar, hangat dan penuh perhatian.

“Kamu tahu kan, aku akan selalu ada buat kamu apapun yang terjadi.”

Lyana mengangguk dan tersenyum. Dalam hatinya, Ia berbisik, Maafkan akau, Gian. Kali ini aku tidak bisa cerita tentang kehamilanku. Aku masih ingin menikmati saat-saat terindah bersamamu yang mana itu hanya ada kita berdua.

"Ini tadi dari Ibu kost, diminum dulu. Setelah itu minun obat pereda demam ya." Gian sudah menyiapkan semuanya di sisi kasur Lyana. Gadis itu mengangguk pelan.

.

Hari berikutnya, Lyana sudah sembuh, meskipun seperti biasa, paginya Ia harus bergelut dengan rasa mual karena kehamilannya. Tapi Ia sama sekali tidak memperlihatkan itu di depan Gian dan seolah tak ada apapun yang terjadi pada dirinya. Ia selalu berangkat ke kampus dengan ceria, dan pulang juga dengan rasa senang meskipun ada saat-saat Ia tidak sedang bersama Gian.

Tapi itu tidak masalah, karena malamnya, waktu Lyana full hanya bersama Gian. Langit malam terasa dingin, tapi suasana di bawah pohon besar belakang kost itu tetap nyaman. Suara jangkrik bersahutan, dan angin meniup lembut dedaunan.

Gian duduk di bangku kayu halaman depan kost. Gitarnya ada di pangkuannya, jari-jarinya pelan-pelan memainkan melodi yang lembut. Melodi yang Ia mainkan selama berbulan-bulan, namun tak pernah selesai, namun malam ini ternyata sudah selesai.

Seseorang berjalan pelan mendekat, diam-diam karena takut mengganggu. Tapi suara gitar itu seperti sebuah panggilan yang mengalun lembut di telinganya. Suara yang dulu menemani malam-malam penuh luka yang kini mengisi hatinya kembali. Lyana berdiri di samping bangku.

"Lagu apa itu yang kamu nyanyikan, Gi?" Tanyanya pelan. Suaranya nyaris berbisik, seperti takut jika itu hanya mimpi.

"Boleh aku bernyanyi juga?" Gian menoleh, bibirnya mengukir senyum kecil.

"Laguku akhirnya udah jadi, Ly. Tentu boleh, tapi syaratnya kamu harus hafal dulu liriknya, nih duduk dulu sini." Ia menepuk bangku di sebelahnya, mengajak Lyana duduk.

Lihat selengkapnya