Lyana kemudian pandangan ke arah lain supaya matanya tidak bertemu dengan Gian, terdiam sejenak, lalu kembali berkata,
"Dengan begitu aku jadi tahu, kalau kamu bukan Gian yang dulu aku kenal. Gian yang aku kenal selalu ada buat aku, mencintai aku, hanya aku, tapi sekarang kamu mencintai Naomi, iya kan?" Tatapan Lyana ke Gian semakin berkaca-kaca.
"Bukan gitu maksudku, Ly. Serius, aku gak ada rasa sama Naomi, semua ini rencana Naomi, Ly." Gian mencoba meyakinkan Lyana.
"Sudalah, Gi, lebih baik kita akhiri saja persahabatan ini. Aku tahu dan sadar diri kok kalau aku memang gak pantes buat laki-laki seperti kamu karena aku hamil anak Akbar disaat masih berstatus mahasiswa. Aku bisa kok merawat anakku sendiri, tapi kalau aku gak kuat, paling aku akan mati. Jangan pedulikan aku lagi, selamat tinggal, Gian." Lyana berdiri dari bangku, kemudian berjalan keluar klinik, tapi Gian masih mengikuti di belakangnya.
"Nggak, Ly, kenapa sih kamu nggak pernah mau untuk mendengarkan penjelasanku dulu?" Lyana kembali menoleh.
"Apa yang perlu dijelaskan jika semuanya aku sudah melihat sendiri? Tidak perlu, Gi. Aku yang salah karena menyukai sahabat sendiri."
"Dengerin aku, aku memang selalu ada buat kamu dan selamanya akan terus seperti itu sampai kapanpun kamu membutuhkan aku. Kan aku memang hanya mencintai kamu aja Ly, please jangan mempermasalahkan hal ini lagi hanya karena kehadiran Naomi. Asal kamu tahu, aku itu dijebak sama Naomi. Semua itu adalah rencana Akbar dan Naomi untuk memisahkan kita berdua, seharusnya kita lebih kuat untuk mempertahankan hubungan ini, Ly, bukan saling melepaskan dan melupakan begitu saja. Jangan sampai persahabatan atau hubungan kita ini hancur begitu saja, Ly, percayalah padaku." Lyana mengalihkan pandangan ke arah lain seakan tidak ingin lagi untuk mempercayai Gian. Padahal Gian adalah sahabatnya sejak kecil, dari mereka sekolah sampai kuliah seperti sekarang ini. Lyana mulai bimbang dengan apa yang Gian katakan, hingga dia hanya bilang,
"Tapi kamu malah yang bikin aku semakin tidak percaya lagi dengan kamu, Gi. Aku kecewa sama kamu!" Lyana segera pergi dari klini kampus dan menstop taxi, kemudian naik, tanpa meperdulikan Gian yang masih berharap Lyana akan kembali mempercayainya seperti biasanya.
"LYY!!!" Teriak Gian.
***
Hari berikutnya, Gian tidak menyerah, Ia berangkat ke kampus dan melihat Lyana di taman. Segera Ia menemui Lyana, namun belum sempat mendekat, Lyana sudah memutuskan untuk berlari karena hujan mulai turun bahkan semakin deras. Gadis itu juga tahu kalau Gian memang sedang mengikutinya dari belakang. Lyana berlari dari taman kampus menuju jalan raya karena tidak ingin diikuti oleh Gian. Sepatunya basah kuyup, rambutnya menempel di wajah, dan tubuhnya menggigil. Tapi Ia tidak peduli itu.
"Aku harus menjauh dari dia, aku harus bisa melakukan apapun sendiri mulai sekarang.” Bisiknya sambil menahan isak tangis. Setiap melihat Gian, Ia semakin teringat kenangan tentangnya, terutama kejadian di cafe yang Gian berciuman dengan Naomi. Ia cemburu, tapi juga tidak bisa memaksa Gian untuk tetap berada di sampingnya.
Di belakangnya, suara langkah Gian terdengar cepat. Napasnya berat karena luka di tulang rusuknya belum sembuh total, tapi rasa sakit itu tak ada artinya dibanding rasa takut kehilangan Lyana.
"Lyana! Tunggu, jangan pergi!" serunya di antara hembusan hujan.
Namun Lyana tetap berjalan. Ia merasa sudah terlalu jauh masuk ke dunia yang bukan miliknya. Dunia Gian yang bersih, yang ideal, yang tidak seharusnya dicemari oleh seseorang sepertinya. Harusnya Ia sadar itu sejak awal kalau dirinya hanya seorang perempuan yang hamil tanpa pernikahan, dan itu dari laki-laki yang sudah memperkosanya.
Gian akhirnya meraih tangan Lyana dan memutar tubuhnya.