Sudah dua bulan berlalu sejak Gian pertama kali mengikuti audisi menyanyi. Selama itu pula, ia harus melalui berbagai tahap untuk bisa mencapai babak terakhir, hingga akhirnya diputuskan layak menjadi seorang artis. Dua bulan terakhir menjadi hari-hari penuh perjuangan karena berlatih vokal di tempat khusus, dibimbing langsung oleh seorang guru vokal, dan semua diarahkan oleh Pak Panji. Setiap hari terasa penuh kecemasan, dipenuhi tetesan keringat dan kerja keras yang tak kenal lelah. Namun kini, semua usahanya terbayar lunas. Gian berhasil melewati setiap babak hingga akhir, dan namanya resmi diumumkan sebagai salah satu pemenang.
Tepuk tangan para juri masih terngiang di telinganya, wajah-wajah kagum penonton masih terbayang jelas dalam ingatannya. Malam itu, Gian pulang dengan hati berbunga-bunga. Rasa lelahnya seolah sirna. Ia tahu, inilah awal dari perjalanan panjang menuju mimpinya. Namun di balik kebahagiaan itu, ada satu hal yang terus menggelayut di hatinya yaitu Lyana.
“Semua ini rasanya gak ada artinya kalau aku gak bisa berbagi sama dia.” Gumamnya di kamar kost.
Dan benar saja, malam itu Gian duduk berdua dengan Lyana di bawah pohon mangga yang sudah menjadi tempat saksi bisu hubungan mereka. Lyana tersenyum, menatapnya dengan mata yang berkilau meski ada gurat lelah.
"Ly, kamu sudah tahu belum kalau aku..."
"Kenapa, Gi? Tentang audisi itu? Aku sudah tahu, kamu menang kan? Aku sudah melihat di televisi tadi. Suaramu memang bagus banget dan layak masuk jadi artis terkenal!" Pekik Lyana dengan ekspresi wajah gembiranya.
"Selamat ya, Gi. Akhirnya kamu bisa mencapai mimpimu." Lyana refleks memeluk Gian dengan rasa gembira di hatinya. Gian juga tersenyum karena kekasihnya merasakan hal yang sama dan selalu mendukungnya. Perlahan pelukan mereka dilepas satu sama lain.
“Ly, aku mau pulang ke rumah, aku mau kasih tahu Mama dan Papaku kabar ini dan ingin mereka tahu kalau aku gak salah pilih jalan karir,” kata Gian, penuh semangat. Lyana mengangguk pelan.
“Kamu harus pulang, Gi. Mereka pasti bangga padamu,” tapi Gian mendadak menggenggam tangannya erat.
“Aku gak mau pulang sendirian, aku mau kamu ikut.”
Hati Lyana tergetar, Ia tahu, permintaan itu bukan sekadar ajakan biasa. Gian ingin memperkenalkan Lyana, ingin membawanya masuk lebih dalam ke kehidupannya. Dan itu ialah sebuah langkah besar.
“Baiklah,” jawab Lyana akhirnya.
“Aku akan ikut.”
***
Hari Minggu siang, bus umum yang ditumpangi oleh Gian dan Lyana berhenti di depan rumah besar bercat putih gading. Rumah itu berdiri kokoh dengan halaman luas, berbeda jauh dari kost sederhana tempat Gian dan Lyana biasa tinggal. Ia menggenggam tangan Lyana sebelum melangkah masuk karena melihat Lyana yang gugup setiap kali ingin bertemu keluarga Gian.
“Tenang aja, selama ada aku, kamu gak sendirian.”
Tapi begitu pintu besar dibuka, suasana yang menyambut jauh dari harapan Gian.
Di ruang tamu, duduklah seorang perempuan dengan gaun merah marun, rambut tergerai indah, wajah cantik dengan senyum penuh percaya diri, itu ialah Naomi. Dan tepat di sampingnya, Mamanya Gian, yaitu Tante Bella yang tengah merangkul bahu Naomi dengan senang hati seolah sudah seperti keluarga sendiri. Gian tertegun, sedangkan Lyana menahan napasnya.
“Naomi?” Suara Gian tercekat.
Naomi menoleh, wajahnya menampilkan ekspresi setengah menang, setengah pura-pura sedih.