Gadis itu masih menimang-nimang undangan program magisternya ke negeri sejuta mode itu. Pertemuannya denganku membuatku merasa bersalah sepanjang hari. Membuatnya ingat denganku menjadikan aku tertekan setiap menginganya. Hanya beberapa ucapan kasih yang memudarkan keinginannya untuk tetap berangkat. Apalagi aku dengannya memiliki mimpi yang sama.
Perkataannya tentang Sorbonne waktu itu sangat menghipnotis banyak orang yang dihadirkannya untuk berdoa bagi kesuksesannya. Binar-binar wajahnya menyemburkan tanda bahagia dan sangat manis bila dilukiskan di kanvas mahal serupa pelukis terkenal Eropa.
“Next!” pelayan konter memintanya untuk terus maju mengingat masih ada antrian di belakangnya yang akan dilayani menuju penerbangan internasional ini.
Langit masih menyisakan banyak penantian. Perempuan berbadan kecil. Penuh semangat. Tak mengenal lelah bahkan paling benci dengan kata menyerah, itu diriku yang tergopoh-gopoh keluar rumah. Ada burung pipit di pagar rumahku. Sekilas burung itu kaget lalu pergi meninggalkanku yang buru-buru dikejar waktu.
“Hei! Obatmu, Nak!” suara laki-laki paruh baya meneriakiku dengan tegap. Membawakan dua botol makanan yang harus ku tenggak setiap hari. Aku sedikit tidak mengacuhkannya. Tapi, tanganku dipegang erat. Seolah-olah rasa kesal mengerumuni wajahnya. Lalu, dia kembali ke dalam rumah.
“Hah!” Satu setengah jam lagi!” aku masih dalam kondisi tenang menembus kabut pagi. Susah bagiku merelakannya. Biarpun aku baru sebentar mengenalnya. Aku ingin Tuhan mengikatku lebih lama dengannya.
Kikikan burung pipit tadi seolah-olah mencaciku. Aku sudah menganggu kenikmatan paginya. Ah! Sudahlah! Secepatnya! Aku harus sampai disana. Bila pun itu terlambat. Biarkan aku memeluk jendela kaca tanpa ada lagi wajahnya dihadapanku.
Jeritan rem sepeda motor masih menunda kenikmatan burung pipit tadi. Dia semakin kesal kepadaku. Seharusnya, dia menikmati teh manis pagi sambil melihat anak-anak sekolah lalu lalang melewati gangke rumahku.
“Buruan, Mas!”
Rantai motor gigi itu terlihat mengumpatku. Dia mau berjalan sedikit tenang untuk menyusuri portal penghambat gang masuk ke rumah dan abu-abunya jalanan menuju tujuan pagi itu. Akhirnya, dia tetap memaksakan untuk berlari sekuat tenaga. Hingga helm yang kupakai serasa berdisko di klub malam yang musiknya keras. Mabuk dihantam bau tak enak.
***