Satu Langit Dua Cerita (Kosakata Cinta di La Sorbonne)

Martha Z. ElKutuby
Chapter #5

Di Kota Tua

Jakarta! Panasnya bukan main. Januari lalu, aku mengarunginya sudah seperti gosong kepanasan karena teriknya matahari. Aku tidak lagi tinggal di daerah yang penduduknya bisa bermurah hati untuk sesama. Namun, tinggal dengan penduduk yang semuanya pintar berhitung. Setiap hari itu seolah-olah hampa tanpa uang disaku. Itulah Metropolitan!

“Kak, aku lagi di kereta. Bentar yah!” pesan singkat dari Kayla lewat Whatsapp.

“Oh, iya, Dik! Tidak apa-apa. Hati-hati, ya!” balasku.

***

Agustus lalu, aku sudah berjalan mengelilingi Jakarta ini. Mulai dari naik ojek online. Ikut coba-coba menaiki transjakarta. Bahkan, aku sudah sering bolak-balik naik kereta commuter line. Semuanya ada kenikmatannya sendiri. Ada sebuah cerita yang nanti akan aku ceriakan padamu.

“Ah, macetnya! Kapan aku sampainya, nih!” gerutuku diatas transjakarta.

Jalanan dari Cililitan hingga ke Grogol itu sungguh membuatku kesal. Entah mengapa? Aku seakan ingin keluar dari semua ini hingga aku bisa merasakan bebasnya udara luar. Padahal, didalamnya sudah ada AC. Masih saja aku kegerahan. Jejeran kendaraan yang sudah tak asing lagi bagi orang-orang yang bekerja disini membuat mereka harus bertahan.

“Mba, mau kemana?” sapaku.

“Mau ke Stasiun Grogol. Mau kerja di Citra. Mba sendiri mau kemana?” tanyanya.

“Aku mau ke Citra juga. Tapi, bukan buat kerja. Tapi, ketemu teman.” balasku.

“Oh, gitu! Macetnya sih ini nggak bisa selesai,” keluhnya.

“Sabar, Mba. Aku juga baru disini. Jadi, aku sudah merasakan juga sama seperti Mba,” senyumku.

Aku masih merasakan betapa luasnya kota ini. Kabut kecemburuan dimana-dimana. Bercampur debu kelelahan yang tak pernah pudar dari rongga hidung sang pencari rezki Tuhan. Keringat mereka terbuang dan tergadaikan hanya untuk sesuap nasi yang setiap bulannya dibayarkan. Mirisnya! Tapi itulah hidup untuk berjuang dan selalu berjuang.

***

 “Kak, dimana? Aku sudah turun nih!” pesan singkat Kayla melepaskan lamunanku.

“Ini kakak di arah pintu keluar dekat Taman Kudus. Belum keluar sih.”

“Kakak seberang saja. Aku di seberang. Kita keluar ke jalan Sudirman saja.”

“Baiklah! Sebentar yah. Nyebrang dulu.”

Aku mengikuti setiap rel untuk menyeberang ke peron sebelah. Kayla dengan gamis hitam dan jilbab abu-abunya terlihat cantik dengan wajah lelahnya. Sepertinya, dia habis begadang semalam. Tapi, syukurlah dia tidak apa-apa. Masih ceria sepanjang jalan. Malah masih tertawa bersamaku.

  “Kirain tadi tersesat di stasiun Tanah Abang. Jadinya, Kayla dicuri orang,” candaku.

 “Ah, Kakak. Apaan sih? Hahaha. Ya enggaklah! Orang udah­ gede pun,” ketawaan Kayla.

 “Yuk, keluar dan jalan. Nanti kantornya keburu tutup.”

“Yuk, kak!”

Saat itu, kami akan mengantarkan sebuah proposal untuk acara di Pakistan. Tugasku cuma satu yaitu membantu Kayla dan teman-temannya untuk mengurus proposal sponsorship. Sebab, mereka sibuk UAS dan juga sibuk dengan tugas-tugas mereka. Ini menjadikan mereka kewalahan. Aku tidak menyangka bisa mengenalnya saat ini. Aku senang.

“Kak, pesen Go-Car aja, yah! Biar barengan kita ke kantornya.”

“Oke, Dek! Pakai aplikasi kakak aja. Ada Go-Pay-nya. Biar nggak boros uang.”

“Ah, jangan gitu. Masing-masing aja. Biar barengan.”

Nggak usah. Santai aja, Dek! Hehe.”

Aku melanjutkan untuk memesan kendaraan online itu. Menuju The East Tower. Tujuan utama kami adalah Semen Indonesia. Kata orang kalau mau masukin sponsorship ke Semen Indonesia biasanya bisa. Semoga saja bisa dan diprioritaskan untuk kami.

Gedung megah yang berdiri di tengah Jakarta itu membuatku terperangah. Sebagai orang baru di Jakarta, aku jujur sangat merasa kerdil dan rendahan. Pakaian sederhana, uang seadanya, tampilan juga tidak terlalu mewah. Aku menyadari sulitnya mengais rezki di negeri orang. Memasuki gedung mewah ini sungguh sangat mengesankan. Memberikan pengalaman baru dan lucu sekali.

“Kak, kita lantai berapa?”

“Lantai delapan, ya?”

“Oh, iya. Masuk lift ikutin orang ini aja, Kak.”

“Oke, Dek!”

Mayoritas isi gedung ini adalah orang Cina. Pekerja-pekerja Indonesia hanya sebagai pekerja rendahan disini. Kebanyakan Cina yang menguasai posisi strategis gedung ini. Aku ingat ketika Pimpinan ICMI mengatakan bahwa sekittar Sudirman hingga Kuningan itu bukan kita lagi yang punya. Orang-orang disana sudah kebanyakan Cina. Miris sekali.

“Kak, ntar, deh! Kita salah bukan?”

“Maksudnya?”

“Ini, kakak liat aja. Ini angka lantainya ditekan dimana, ya?”

“Haduh, salah lantai ya? Balik lagi, deh!”

“Hahaha. Kakak sih. Capeknya mau balik ke bawah lagi.”

Lihat selengkapnya