Sore menjelang senja mengabaikan suara burung yang berteriak di langit. Mendung tak bisa dibendung menyisakan rasa khawatir. Ah, hanya ilusiku saja. Aku banyak berpikiran negatif.
“Sudahlah, Hanifa. Jalani saja,” gumamku.
Selesai ashar, aku berusaha membujuk tante untuk bisa menginap di kosan Kayla. Satu malam saja. Aku bingung mau minta izin seperti apa. Ciputat bukan dekat. Kesana menghabiskan waktu empat puluh lima menit dengan kereta listrik. Satu kali transit dari Stasiun Pasar Minggu yaitu transit di Stasiun Tanah Abang. Naik kereta ke arah Rangkasbitung.
“Dik, kira-kira Mamamu ngizinin nggak ya kakak nginap di kosan Kak Kayla?” tanyaku ke adikku, anak tante, Syifa.
“Cobain aja dulu, Kak. Minta izinnya.”
“Bantuin donk!”
“Yaudah bentar, ya.”
Greget bukan main. Aku deg-degan. Sebab, aku takut dimarahi. Jadinya, aku begini. Aku mau menepati janjiku dengan Kayla untuk menginap di kosan dia semalam saja. Masih saja aku tak percaya dengan usahaku. Aku mau bilang apa ke Kayla kalau saja tidak diizinkan. Janji harus ditepati. Sebabkan, itu adalah hutang yang harus dilunasi.
“Kak, kata Mama, boleh nginap!” dengan wajah bahagianya Syifa menyampaikan ke aku.
“Hah? Serius?”
Aku masih tak percaya. Namun, aku tak peduli lagi. Aku bergegas menyiapkan semua keperluanku dan langsung berangkat minta izin. Gerimis sore masih menyapa jalanan depan rumahku. Aku bahagis bercampur rasa was-was. Entah kenapa aku bisa mempunyai firasat tidak enak setelah aku pulang dari kosan Kayla.
“Ah, sudahlah!” aku berangkat.
Semakin sore hatiku semakin tidak karuan. Mungkin Allah akan mendatangkan sesuatu kepadaku setelah ini. Semoga ini menjadi pembelajaran berharga bagiku. Ah, ingat Ayah dirumah. Takut beliau marah. Aku sengaja membuang pikiran negatifku jauh-jauh. Saat ini aku harus menepati janji dulu dengan Kayla. Agar aku tidak berhutang kepadanya. Urusan Ayah, nanti belakangan. Mudah-mudahan Ayah paham.
“Tante, aku berangkat ya. Assalamu’alaikum.”
Ojek online yang kupesan sudah di depan rumah. Menembus beceknya jalanan untuk sampai ke Stasiun Pasar Minggu. Ramai sekali orang pulang berakhir pekan turun di stasiun. Ada anak kecil bercerita seputar perjalanan. Ada ibu-ibu yang selesai selfian diatas kereta. Ada bapak-bapak yang setia menggendong gadis kecilnya. Ada anak muda yang sibuk dengan androidnya. Semua kesibukan stasiun sore itu membuatku terhibur dan tersenyum.
“Yah, maafin aku yang masih bandel dengan nasihat, Ayah. Aku tak mau Ayah marah. Aku hanya menepati janjiku.”
Hatiku semakin tidak enak. Sampai di Stasiun Tanah Abang, aku masih berdzikir istighfar sebanyak-banyaknya. Aku masih mengingat Ayah. Hanya Ayah yang cerewet denganku. Mengingatiku kemana aku pergi. Bertanya setiap pagi melalui pesan WhatsApp kepadaku.
“Han, kemana hari ini?”
Begitu pula dengan Ibu yang selalu mengirimkan pesan yang sama kepadaku. Ah, airmataku jangan jatuh. Aku tak mau melukai mereka. Amanah mereka adalah sebuah keharusan buatku. Aku rindu mereka.
“Sesaat lagi kereta Anda akan sampai di Stasiun Pondok Ranji,” suara operator mengejutkanku.
“Alhamdulillah,” sambutku.
Ciputat masih mendung. Sama ketika aku berangkat dari rumah. Jakarta memang sedang musim hujan. Aku masih terserang masuk angin dan flu berat. Sepertinya sinusitisku. Mudah-mudahan tidak berat. Allah masih mengurangi dosaku dengan rasa sakit.
Baru pertama kali aku menjajaki Ciputat. Selama ini aku tak pernah keluar sejauh ini kecuali ke Bogor. Hanya sebentar saja disana. Kota Hujan itu memang selalu mendung dan berakhir hujan ketika sore tiba. Sungguh, musim tak menentu tahun ini. Masih aku ingat Ayah.
***
“Kay, kakak sudah di depan kosan warna kuning,” pesan singkat WhatsAppku kepada Kayla.
“Masuk aja, Kak. Sebentar aku keluar.”
“Oke.”
Kayla keluar dengan mukenanya. Menyambutku dengan senyumnya yang khas itu. Aku jadi tersipu malu. Lembut sekali sentuhan ukhuwahnya.
“Assalamu’alaikum,” sapaku.
“Wa’alaikumussalam, Kakak. Selamat datang di kosan aku. Kosanku sederhana kok. Nggak bagus-bagus amat. Semoga kakak betah dan nggak kapok. Hehe,” cengengesannya.
“Kapok? Ah, enggaklah. Kakak dulu ngekos lebih jelek dari ini. Masih nyaman kok. Betah nggak betahnya itu tergantung dengan hati kita sayang. Maka, banyak-banyaklah kita bersyukur.”
“Alhamdulillah, Kak. Semoga kita diberikan nikmat lebih ya, Kak?”
“Aamiin. Insya Allah.”
Damai sekali di kamar ukuran 3 x 4 meter itu. Catnya hijau dan memang agak gelap. Tapi, nyaman saja. Aku serasa kembali ke sebuah kenangan lama. Wisma Aisyah ketika aku kuliah di Universitas Bung Hatta di Padang. Aku bersama teman-teman seperjuangan dakwah kampus. Disana aku diajarkan berbagai hal.
“Sudah maghrib, Kak. Sholat, yuk!”
“Oh, iya. Ayuk!”
“Jamaah yuk, Kak!” ajak Kayla.
“Ayuk. Rindu suasana begini, Kay. Akhirnya didapatkan disini. Alhamdulillah.”
“Imamnya Kakak, ya?”
“Eits, nggak mau. Kayla aja. Nanti Isya baru kakak. Oke.”
“Allahu akbar. Allahu akbar,” iqamahnya duluan.
“Masya Allah, Dik.”
Akhirnya aku jadi imam. Aku masih minder dengan Kayla yang lulusan sekolah agama. Otomatis pikiranku dia lebih banyak tahu tentang ayat-ayat AlQur’an dibandingkan aku. Namun, aku berusaha hati-hati dengan bacaanku. Takut ketimbang jelek. Aku grogi.
Indahnya mempunyai teman sepaham dan sama-sama memperjuangkan dakwah itu ya begini. Sama-sama merasakan susah dan sama-sama merasakan nikmat. Sehingga, apapun yang dilakukan bernilai ibadah kepada Allah. Hanya saja, banyak orang diluar berteman namun membunuh dari belakang. Bukankah AlQur’an mengajarkan kita untuk bersaudara?
“Alhamdulillah, selesai juga ya,” legaku di akhir sholat,
“Iya, Alhamdulillah, Kak,” senyum Kayla.
“Dik, tahu nggak?”
“Apa, Kak?”
“Kakak pas baca ayat AlQur’an tadi grogi. Takut bacaannya salah. Sebab, sudah lama tidak berjamaah begini. Rindu wisma kakak dulu. Semua orang mengajak berjamaah.”
“Hehe. Alhamdulillah, Kak. Nggak usah grogi. Insya Allah berkah.”
“Gimana tidak grogi. Kakak sudah tidak muraja’ah AlQur’an sejak lama. Saat ini pun kakak lagi kosong dan sedang mencari guru mengaji. Semoga saja besok ada infonya. Aamiin.”
“Aamiin, Kak. Semoga Allah memudahkan Kakak. Aamiin.”
Sampai malam pun masih bercerita dengannya. Waktu makan malam mengunjungi pondokan mie ayam di depan Universitas Islam Negeri Jakarta. Aku sedang nafsu makan. Jadi, aku senang sekali dibawa makan mie ayam. Bercerita dan saling mengingatkan satu sama lain.
Malam yang memang sepi. Kayla sepertinyaa sedang tidak enak hati. Aku hanya banyak diam dan masih memikirkan Ayah. Ayah belum tahu aku menginap di kosan Kayla. Aku tahu Ayah akan kesal kepadaku. Aku sudah ketimpang janji dengan Kayla. Mau tak mau aku harus tepati segera.