“Duh, pusing sekali.”
Semakin hari kepalaku rasanya semakin aneh. Tidak enak dan sangat memualkan perut.
“Aku nggak boleh sakit. Tidak ada yang peduli kalau aku sakit. Kuat-kuat!” gumamku dalam hati.
Pagi yang membuatku tidak enak sekali. Semuanya berantakan. Kapal pecah pun kalah dari kamarku yang kuhuni bersama anak-anak tanteku. Sepertinya ada sesuatu hari ini. Aku membuang jauh pikiran anehku. Aku beralih untuk tidur kembali. Alih-alih beranggapan kalau kepalaku bakalan enakan setelah tidur ini.
“Masih sakit, ya Allah!” omongku sendiri.
Tak lama handphoneku berdering. Ada pesan WhatsApp masuk dari Kayla.
“Assalamu’alaikum, Kak. Kak, maaf. Pagi ini aku mau urus beasiswa kampusku dulu. Cuma sebentar, kok. Nanti kalau sudah sampai di Stasiun Sudirman kabari ya, Kak.”
“Iya, nanti kakak kabari,” balasku.
Aku mencoba berdiri untuk mandi dan bersiap. Sudah mulai siang. Pukul 9.00 WIB. Aku buru-buru mandi dan setrika baju. Takutnya telat. Menuju Sudirman itu butuh waktu dua puluh menit. Menuju Stasiun Pasar Minggu dari rumahku itu butuh waktu lima belas menit dengan gojek. Aku jadi terburu-buru.
Kamarku berantakan. Laptopku entah dimana. Semuanya belum sempat kubereskan. Aku sudah menuju ke Sudirman. Masih terasa lelahnya badanku dari kemaren karena tidak sehat. Alergiku kambuh. Semua badanku sakit. Masuk angin juga. Entah kenapa semuanya muncul begitu saja.
***
“Dik, kakak berangkat ya. Kabari kalau urusan di kampusmu sudah selesai. Nanti kakak tunggu di Stasiun Sudirman,” pesanku lewat WhatsApp.
“Iya, Kak. Nanti aku kabari lagi. Kakak hati-hati, ya,” balas Kayla.
Aku berangkat dari Stasiun Pasar Minggu menuju Stasiun Sudirman. Masih was-was perasaanku. Akan ada yang terjadi nanti setelah ini. Namun, aku tak tahu itu siapa dan akan terjadi apa. Aku hanya berdoa saja tidak akan hal yang menakutkan. Walaupun aku sendiri takut dengan kejadian itu.
Sampai di Stasiun Sudirman. Aku beralih duduk di kursi tunggu di stasiun itu. Menunggu kabar Kayla. Masih pukul 10.00 WIB pagi. Kayla berjanji pukul 11.00 WIB akan bertemu aku. Namun, sampai saat masih belum dikabari. Aku masih menunggu.
Mendung masih menghampiri pagi di Jakarta. Gedung-gedung tinggi menjulang ke langit pun terasa mau roboh dengan beratnya langit. Sepertinya akan hujan. Ah, sudahlah. Aku harus kuat hari ini. Gamis kuning jahe yang aku pakai dari rumah itu juga membuatku badanku terasa sedikit nyaman. Hatiku tidaklah senyaman pakaianku.
“Kak, aku sepertinya agak lama. Masih banyak yang diurus kak. Mendadak aja pagi tadi ditelpon sama pihak Kemahasiswaan. Mau urus keabsahan beasiswa aku, Kak.”
“Iya, nggak apa-apa kok. Kakak tunggu ya sampai selesai. Semoga segera selesai dengan baik. Aamiin.”
“Maaf ya, Kak. Kakak sudah dimana?”
“Sudah di Stasiun Sudirman. Nggak apa-apa kok ditungguin aja.”
“Yah, jadi nggak enak sama kakak.”
“Udah. Urus satu-satu dulu.”
“Iya, Kak.”
Sudah dua jam berlalu. Sudah enam kereta lalu lalang di depanku. Ditambah juga kereta arah ke Bandara Soekarno-Hatta. Aku masih menunggu. Aku tahu melatih diri sabar itu sebuah keharusan. Melatih diri agar tidak berburuk sangka. Aku mau mengajarkan sesuatu kepada Kayla. Masih aku simpan tujuanku. Aku tidak mau dia tersinggung dengan kehendakku yang ingin dia jadi lebih baik.
Selama dua jam juga aku menghitung waktu dan berdzikir di stasiun. Sudah pukul 13.00 WIB. Aku mulai lelah dan lemas.
“Apa baiknya aku ke kosan Kayla lagi aja, ya?” pikirku.
Lama aku merenung dan berpikir. Akhirnya aku naik lagi kereta arah ke Pondok Ranji. Aku mau ke kosan Kayla saja. Menunggunya di kosan dan sekalian membelikan makanan untuk dia. Biasanya dia malas minum dan suka telat makan.
“Dik, kakak ke kosan aja ya. Numpang tidur siang sebentar. Malas juga mau balik pulang lagi,” pesanku lewat WhatsApp.
“Oke, Kak. Kuncinya di tempat kemaren, Kak. Kakak hati-hati ya. Kalau sudah sampai kabari saja. Aku kelelahan, Kak. Sudah bolak-balik ngurusin beasiswanya.”
“Yaudah, nggak usah sekarang kita urus proposal ini. Kapan-kapan saja. Kita istirahat aja, ya.”
“Iya, Kak. Hati-hati ya, Kak.”
“Iya.”
Aku transit di Tanah Abang lagi. Naik kereta ke Pondok Ranji. Aku mengantuk sekali. Kelelahan juga dan masuk angin. Ciputat lagi mendung. Aku belum pernah melihat Ciputat muncul matahari. Selalu saja mendung. Katanya panas, kataku tidak. Biasa saja.
“Assalamu’alaikum,” aku masuk kosan Kayla.
Kayla sedang sholat zhuhur. Aku duduk dikasur sambil baringan menungu dia selesai sholat. Ada rasa cemas dihatiku hari itu. Aku malas pulang dan malas kemana-mana. Aku masih nyamannya disini dan tidur.
“Wa’alaikumussalam, Kakak,” balas Kayla setelah selesai sholat.
“Eh, udah selesai, ya?”
“Apa kabar nih?”
“Alhamdulillah baik. Kayla gimana kabarnya?”