Satu Langit Dua Cerita (Kosakata Cinta di La Sorbonne)

Martha Z. ElKutuby
Chapter #8

Permintaan Maaf Rudi

“Kak, dia itu sudah kelewatan, Kak. Kakak itu harus sadar. Cobalah kakak pikirkan. Dia itu cuek dan tidak menghiraukan usaha kita. Tolonglah, Kak!” Rudi kesal padaku.

Perkara untuk simposium ini semakin melewati batas. Aku lelah. Tapi, aku kasihan dengan Rudi. Dia juga sudah semangat untuk mengurusi ini semua. Aku saja yang memang mengiyakan mereka semua. Belum lagi Hasbi yang memang keliatan seperti orang yang tanpa masalah. Dia selalu tenang dan damai saja.

“Bukan begitu, Rud! Kakak bukannya tidak sadar. Cobalah kamu pikirkan jika kamu di posisi dia. Kamu sibuk dan lain-lain. Apakah kamu nanti akan terima diomongkan seperti ini?”

“Ya, tidaklah, Kak. Aku sudah kesal, Kak. Ini sudah mepet waktu. Kakak juga tahu kan ini semua akan mubazir jika tidak dilanjutkan. Kakak harus paham itu.”

“Ya, kakak paham. Tidak ada usaha yang tidak beresiko, Rud. Kamu juga harus paham juga efeknya. Jika kamu merasa rugi dan mubazir. Toh, dari awal kita selesaikan. Tidak usah memulai. Kalau sudah memulai harus sabar dan ikhlas. Jangan sampai ukhuwah kita rusak.”

Aku mencoba menenangkannya. Walaupun dia terlihat masih kesal dan sakit hati. Aku memang tidak sependapat dengan Rudi. Aku juga tidak suka dengan orang suudzon. Mungkin kita perlu memeriksa hati untuk tetap menjadi yang terbaik dalam bersaudara.

“Oke, Kak. Aku cuma menyampaikan itu saja ke kakak. Asal kakak tahu, temannya dia itu, Mustafa. Dia itu jahat, Kak. Dia suka menghujat dan menyalahkan. Jahat dia, Kak. Aku Cuma mau sampaikan ini saja ke kakak. Kalau kakak masih bersikukuh untuk bertahan dengan pendapat kakak. Ya, silahkan! Aku mau urus ini dulu ya, Kak,” Rudi mulai menyerah untuk menasihatiku.

“Iya. Janganlah suudzon dulu ya. Nanti kakak tanyakan kebenarannya. Kamu tidak usah khawatir. Kalau kamu merasa tidak enak dengan dia. Silahkan, kamu telpon dan ngobrol langsung dengan Kayla. Mungkin saja dia ada masalah atau apa gitu. Tidak baik ngomong di belakang. Kakak takut ghibah. Kakak mohon maaf ya. Bukan kakak menyalahkan Rudi dan siapapun. Kakak berusaha adil sama kalian. Mungkin kakak juga punya salah. Kakak mohon maaf.”

“Iya, Kak. Nggak apa-apa. Kalau gitu aku lanjut urus persiapanku ke tiga negara dulu ya, Kak.”

“Oke. Jangan lupa oleh-olehnya, ya!” aku memecahkan ketegangan dan rasa sakit Rudi.

“Insya Allah, Kak. Doain aja ya, Kak.”

“Iya. Assalamu’alaikum.”

"Wa’alaikumussalam.”

Telepon itu ditutup dan aku melanjutkan hafalanku yang tertunda beberapa hari ini. Sudah lupa dan banyak yang terlupakan urutan ayat-ayatnya. Banyaknya kesalahan dan melakukan hal yang kurang baik akan membuat otak kurang merespon kegiatan yang baik. Hal ini yang membuatku semakin lupa dan semakin turun ingatannya.

Dulu aku rajin mengulang dan membaca AlQur’an. Sehingga minus mataku sembuh. Sekarang tidak lagi. Malah minus mataku bertambah. Segudang aktifitas di depan handphone da laptop membuat mataku sering lelah dan sangat capek.

***

“Kak, aku dengar kakak sakit, ya? Kakak sudah terlalu lelah dan sudah baik banget sama kami. Kakak harusnya istirahat dan tidak usah menerima tawaran siapapun lagi untuk menyiapkan semua ini.”

Hasbi tiba-tiba menelponku dan langsung menasihatiku. Aku sengaja untuk mendengar saja. Sambil tersenyum aku memperhatikan cara dia bicara. Sudah sedikit suudzon namun aku melepas rasa buruk sangkaku pada dia.

“Iya, Bi. Nggak terlalu sakit juga. Kakak cuma kelelahan saja. Mungkin mau istirahat dulu. Namun, kakak selagi sanggup kakak bantuin juga. Nggak usah khawatir, ya.”

“Bukan begitu, Kak. Kakak harus paham juga. Aku dengar dari Rudi. Kakak juga sudah meluangkan waktunya buat kita. Harusnya kita paham dong sama kakak. Kalau aku boleh kasih saran ke kakak. Tolak saja kalau memang kakak sudah terlalu lelah dan terlalu letih. Ini bentuk kalau kita sudah tidak sanggup lagi, Kak. Proposal kita saja belum kelar, Kak. Kenapa bisa kakak mau urusin mereka?”

“Astaghfirullah. Bukan begitu, Bi. Kakak memang tidak kuasa untuk menolak mereka yang minta tolong. Terlepas dari itu semua, kakak tidak mau berburuk sangka kepada siapapun. Kakak juga tidak menyalahkan kalian ngomong ini semua ke kakak. Kakak juga tidak memenangkan Kayla dan teman-temannya. Mungkin hati kita sedang rusak. Jadinya, kita terlalu mudah untuk menyakit sesama. Kakak paham kalian kesal. Kakak juga tidak akan membiarkan kalian terpecah begini.”

“Iya, Kak. Aku tahu. Asal kakak tahu. Itu teman Kayla itu ada yang cowok. Cowok itu jahat banget. Bisanya cuma memanfaatin saja. Kakak kalau belum kena ya buktikan saja sendiri. Aku sudah nggak tahu lagi sih gimana caranya mau membaikkan Kayla.”

“Kakak tidak kenal temannya. Kakak masih berpikir positif kepada mereka semua. Bukan apa-apa. Kakak memang tidak mau berpikir negatif. Nanti jatuhnya kita suudzon dan akhirnya berpecah. Kalau pengen tahu siapa mereka silahkan Hasbi hubungi Kayla dan Mustafa. Mungkin bisa menambah saudara.”

Aku sudah pasrah dengan omongan Hasbi. Sepertinya dia kena virus dari Rudi. Aku percaya kalau Rudi sudah menyampaikan hal ini kepada Hasbi. Aku sungguh tidak suka ada perpecahan begini. Sebisa mungkin aku akan membuat mereka damai. Aku harus bicara dengan Kayla. Mungkin saja mereka salah sangka. Aku juga tidak pernah ingin mencampuri urusan mereka semua. Tugasku disini hanya untuk membantu mereka. Bukan membuat mereka berpecah.

***

“Kay, ada waktu nggak?”

“Ada apa, Kak?”

“Kakak mau ngomong sesuatu. Ini penting. Mungkin kamu sudah lelah mendengarnya. Kakak mau semuanya selesai.”

“Tentang apa, Kak?”

“Kakak telpon saja.”

Aku menelpon Kayla dan menceritakan semuanya. Wajar Kayla kaget. Aku sudah membuang semua pikiran negatifku dengan Rudi, Hasbi dan Kayla. Terlepas satu tim juga tidak akan ada buatku untuk sebuah perpecahan. Ini semua omong kosong.

“Kak, aku minta maaf ya kalau aku salah. Aku memang terlihat cuek dan kesannya tidak memperhatikan tim kita. Tapi, aku sekarang sedang ada urusan dirumah dan juga mau menenangkan hati. Aku sudah terlalu sakit dengan kata-kata Rudi kemarin. Aku tahu apa yang akan aku kerjakan. Harusnya dia paham aku sedang apa disini.”

“Iya. Kakak paham dengan kesibukanmu. Kakak Cuma minta kamu kalau memang serius, ayo serius mengurusnya. Kalau memang sibuk dirumah silahkan saja. Sampaikan juga di grup kalau kamu memang sibuk dan sedang mengunjungi orangtua dirumah. Itu tidak masalah. Daripada kamu menghilang dan semua orang berburuk sangka.”

“Iya, Kak. Mohon maaf ya, Kak. Nanti akan ngomong di grup. Mudah-mudahan mereka paham ya, Kak.”

“Iya. Aamiin. Kakak nggak mau lagi itu mereka suudzon dengan kamu. Sebisa mungkin kakak mencegah kalian untuk berpecah. Kakak tahu kamu sudah terlalu sakit dan agak malas untuk mengurus ini sampai selesai. Ketahuilah, ketika sudah terjun ke lapangan untuk berperang. Maka, selesaikanlah perperangan itu dengan bijaksana. Apapun itu resikonya.”

“Iya, Kak. Insya Allah.”

Lihat selengkapnya