Aku masih bertanya-tanya tentang perkataan dan cerita Kayla ketika di Kota Tua kemaren. Di Cafe Batavia di depan Gedung Fatahillah itu dia memandangku serius. Entah mengapa? Ada raut wajah yang meyakinkanku bahwa dia benar-benar ingin ke Sorbonne. Aku juga tidak habis pikir. Aku hanya mendukungnya selagi itu baik untuk dia.
Sampai dirumah dari Stasiun Pasar Minggu. Masih kudengar gaung suaranya yang mengatakan kalau dia benar-benar ke Sorbonne. Aku masih mendengarnya dengan hatiku. Hingga malam tiba tanpa ada kata-kata. Aku hanya mengikuti irama zaman yang semakin tua.
“Dik, kamu benar mau ke Sorbonne?”
“Iya, Kak. Kakak ikut, ya. Aku mau berangkat dengan Kak Hani.”
“Insya Allah, Dik. Kalau jadi, harus disiapkan dari sekarang, ya. Buat timeline dan targetnya. Biar tidak dikejar deadline dan persiapannya matang.”
“Iya, Kak. Nanti kita ketemu lagi, Kak. Bahas ini. Boleh, ya?”
“Boleh. Nanti kakak bantuin cari informasi ya.”
“Jazakillah, Kakak.”
“Waiyyaki, Dik. Semoga semuanya dilancarkan Allah, ya.”
“Aamiin, Kak.”
Aku segera menyiapkan target untuk ke Sorbonne. Aku harus menunda gelar MBA dulu. Kalau memang kampusnya berbeda dengan Kayla. Kampus Sorbonne merupakan kampus sastra. Mungkin ini jalannya sudah ada. Aku akan menguasai banyak bidang ilmu. Tidak hanya ekonomi tapi juga pendidikannya. Aku akan coba dulu.
Aku mulai mencari informasi dan semuanya yang berkaitan dengan kampus Sorbonne. Tidak lupa juga seputar beasiswa yang tersedia dan juga persiapan kesana. Kemungkinan ada persiapan Bahasa Perancis. Biasanya kalau di Perancis, mata kuliah sering diantar dengan Bahasa Perancis. Jadi, akan ada persyaratan untuk menyiapkan bahasa disana.
***
“Dik, kalau mau kursus Bahasa Perancis itu dimana?”
“Itu, Kak. Di Kedutaan Perancis aja.”
“Namanya apa?”
“Hmm... IFI alias Indonesia Franch Institute.”
“Alamatnya?”
“Di Thamrin, Jakarta, Kak.”
“Oh, oke deh! Nanti kita lihat gimana prosedurnya bagaimana dan bayarnya berapa.”