“Benarkan rumah Hanifa?”
Tukang pos menyapa Ayah yang sedang membaca koran pagi. Ayah sengaja meliburkan diri karena disuruh rehat oleh dokter untuk beberapa waktu. Demam tingginya masih belum turun. Dia hanya bisa duduk berbalut syal kesayangannya ketika musim dingin dulu di Amerika.
“Ya. Saya ayahnya.”
“Ada surat, Pak. Ini untuk Ibu Hanifa.”
“Terima kasih, ya, Mas!”
“Sama-sama, Pak!”
Ayah membawa amplop coklat itu ke dalam rumah. Tanpa dibuka sedikit pun hingga Hanifa pulang dari tempatnya bekerja hari ini. Hanifa bekerja sebagai penulis konten disebuah perusahaan properti yang mempunyai koperasi dengan jaringan UMKM yang luas.
Hanya terbaca tulisan “Associated Press of Pakistan”. Banyak tanda tanya di otak Ayah. Isi amplop ini apa. Logo persatuan pers Pakistan sudah memanggilku untuk menjadi reporter di Pakistan. Aku lulus sebagai pendaftar terbaik diantara tiga ribu pendaftar utama.
Impianku untuk keliling dunia akan segera terwujud. Aku akan rahasiakan ini sebelum proposal Rudi dan teman-temannya selesai. Aku juga sedang membantu Kayla untuk persiapan ke Sorbonne. Mungkin dari sini perjalananku dimulai untuk bisa mendapatkan izin Ayah.
Aku menderita penyakit jantung bawaan sejak kecil. Jantungku sangat lemah. Aku tak bisa stress dan kelelahan. Aku tak pernah menyerah pada duniaku. Hobi dan kegemaranku meliput berita bahkan bersosialisasi menjadi modalku untuk bahagia. Sesakit apapun itu.
***
“Han, ada surat di atas lemari TV.”
Ayah menyapaku yang baru masuk rumah. Aku masih terengah-engah sehabis jalan kaki dari jalan raya masuk gang menuju rumah. Rasa penasaranku tidak terbentuk. Surat apa yang dimaksud Ayah, aku juga bingung.
“Yes. Misiku selesai. Siap berangkat!”
“Kemana?”
“Ke Lahore, Pakistan!”
“Ada apa?”
“Aku dipanggil bekerja disana, Yah. Ayah doakan saja, ya.”
“Kamu yakin akan berangkat?”
“Ya, aku yakin. Ayah tak usah khawatir. Aku sudah disediakan dokter pribadi di Lahore.”
Aku memandang Ayah dengan tatapan ceria. Berharap Ayah terhibur dengan senyum manisku. Sejujurnya, aku tak mau meninggalkan Ayah. Masih ada Ibu yang akan menjaga Ayah. Aku tahu Ayah khawatir aku pergi. Buatku ini adalah sebuah kehormatan.
Bergabung dengan kantor berita Pakistan membuatku sangat bahagia. Aku bisa memotivasi Rudi dan teman-temannya untuk ikut denganku nanti. Aku hanya berpikir bagaimana cara memberitahukan Kayla.
“Nanti sajalah. Pasti ada waktu yang tepat.”
Aku beranjak ke kamar untuk istirahat. Sejak tadi aku belum mengganti pakaianku. Masih gerah dan kepanasan. Aku masih menangkap wajah Ayah yang khawatir dengan aksiku yang akan ke Pakistan. Pakistan sangat jauh. Konflik-konflik yang terjadi di perbatasan Pakistan-India membuat Ayah memang sedikit takut.