Mungkin ini akan menjadi cerita paling berkesan bagiku. Entah mengapa ada getaran hebat dihatiku ketika ada suara handphone berdering berkali. Aku tidak kuasa untuk mengangkat dan menjawabnya. Aku masih dalam selimut dengan kamar terkunci. Ibu sejak tadi mengetuk pintu kamarku. Masih kuabaikan alarm pagi yang sejak tadi berbunyi. Selesai subuh aku kembali mendekap sunyinya.
“Kayla...!” tulisan di layar handphone Oppo F1 buatan 2017.
Embun pagi ini menyapaku begitu cepat. Aku mau malam tadi bisa lama dan tak akan mengizinkan esok hari datang. Aku juga mau jam dinding kamarku itu terhenti sejenak hingga hatiku bisa menerima semua ini. Aku tak bisa melepaskannya begitu saja. Aku masih ingin berlama dengannya.
Setiap detik berjalan menyapaku seperti hantu yang datang tiba-tiba. Aku semakin diam dan mendekap hati yang tak sesejuk di Kota Tua pertama kali bertemu. Mungkin ini tak akan kembali lagi.
“21 Panggilan Tak Terjawab dari Kayla,” layar handphone itu selalu setia memberikan kabar panggilan.
Airmata lelahku kembali jatuh. Jatuh bukan tak mau melepasnya. Aku masih ingin melihat cerianya. Memandangi rencana dan impiannya. Saat ini impiannya sudah akan tercapai. Sudah saatnya aku ikhlas melepasnya. Tak bisa lagi aku menahannya disini.
“Kamu harus kuat, Hanifa! Dia akan kembali.” aku bangkit dan segera beres-beres.
Satu jam lagi! Penerbangan ke Paris akan segera berangkat. Aku segera memesan gojek ke Bandara Soekarno-Hatta. Aku berlarian hingga ke penerbangan internasional. Menembus banyak orang yang pulang dan pergi di bandara. Aku tahu ini sudah telat. Tapi, aku sudah memenuhi janjiku kemarin untuk datang kesini. Walaupun sekedar melihat pesawat berangkat.
KLM Air segera bersiap meninggalkan Indonesia. Aku masih terpaku dengan 21 Panggilan Tak Terjawab dari Kayla. Aku merenung. Sepanjang ruang tunggu yang dipenuhi oleh penumpang dan aku merasa sepi. Aku menangis. Semuanya hampa dan aku jatuh.
Dari balik kaca bandara. Aku hanya berteman kabut. Mataku juga ikut berkaca-kaca. Aku masih ingin memanjakanmu, Dik. Tapi, aku harus melepasmu dengan bahagia. Aku juga sedang melepasmu di bandara ini.
“Pa, aku merasa ada kakak disini. Sebentar saja, Pa!”
“Sudahlah, Nak! Dia tidak ikut kesini. Pesawatmu sudah menunggu.”
Suara operator di dalam sudah berbunyi untuk meminta memasang ikat pinggang pengaman dan juga mendengarkan instruksi dari pelayan pesawat.
***
“Hanifa!” Mama Kayla tiba-tiba datang berteriak.
Papa kaget. Semua orang di bandara panik. Wajahku pucat dan tidak ada satupun mengalir darah. Sudah dua hari aku tidak nafsu makan. Aku juga tidak menghiraukan ajakan Ibu dan Ayah untuk makan beberapa hari ini. Hanya aku sibuk bersiap untuk mengurusi Kayla.
“Pa, cepet angkat ke mobil. Ke Rumah Sakit, Pa. Ayo, Pa!” Mama tiba-tiba panik dan memaksa Papa untuk membawaku ke Rumah Sakit.
Mobil matic CRV itu melaju kencang. Menembus kabut pagi yang sudah mulai terkikis oleh mentari pagi yang tersenyum. Waktu dhuha sebentar lagi akan menghilang dari peredaran. Aku masih sesak dan pucat. Menahan rasa sakit dan tertekan di dada.
“Pa, cepetan! Mama khawatir, Pa!”
“Iya, Ma. Sama Papa juga cemas.”
Gerbang Rumah Sakit Fatmawati Jakarta! Perawat IGD bergegas membawakan tempat tidur darurat untuk membawaku ke bagian pemeriksaan IGD. Aku diberikan pertolongan pertama hingga dokter jaga IGD datang. Aku disiapkan infus. Aku sudah tidak lagi sadarkan diri.
Jarum suntik siap memasuki nadiku. Dokter masih diam. Mama dan Papa Kayla masih di ruang tunggu. Mereka cemas. Tidak satu katapun yang mereka keluarkan dari mulutnya. Hanya dzikir yang selalu bergema di setiap airmata Mama yang cemas.
Suara handphoneku berbunyi. Ibu menelponku. Sejak tadi handphoneku tidak bisa dibuka karena terkunci dengan pola. Mama mengangkat telepon Ibu.
“Bu, Kayla di Rumah Sakit Fatmawati ruang inap kelas 1, Bu. Ibu segera kesini saja, ya!”
“Bu Heti, anak saya kenapa?” Ibu mulai cemas.
“Ibu kesini saja dulu. Saya akan jelaskan disini.”
Telepon itu tertutup begitu saja. Suasana rumah sakit semakin sendu. Semua alat pendeteksi jantung sudah terpasang. Pakaianku juga sudah diganti. Hanya aku sendiri saja di ruangan itu. Semua orang masih diam. Hening. Sepi.