Langit mulai mendung. Sebentar lagi musim hujan tiba. Aku dari pagi sudah bangun untuk menyiapkan berkas-berkas yang akan dibawa ke Pakistan. Lahore memang cukup jauh. Kali ini aku langsung ke Lahore. Langsung ke kantor berita Pakistan di Lahore.
“Han, kamu yakin mau berangkat?”
“Insya Allah, yakin, Yah!”
Aku mendekati Ayah yang tiba-tiba masuk ke kamarku. Wajah khawatir Ayah masih tak terbendung. Memang aku baru saja keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu. Aku pingsan di bandara melepas kepergian Kayla. Aku juga tak mau larut dalam kesedihan ini terus menerus.
Ayah juga tak akan kubiarkan khawatir. Aku tak bisa menahan diri dirumah saja. Aku pasti akan mengenang semuanya. Aku tak bisa begini. Setidaknya, aku bisa rehat sejenak mengenang suasana ketika masih ada Kayla di Indonesia.
“Ayah, tak usah khawatir. Percayalah! Aku kuat,” aku mencoba menghibur Ayah.
“Ya. Ayah tak mau kamu jatuh lagi disana. Itu jauh. Kamu hanya sendiri.”
“Ada Rudi yang kuajak nanti. Dia pasti mau diajak berkeliling negara.”
“Hmm... Semoga kamu sehat selalu.”
Ayah berlalu meninggalkan kamarku. Aku duduk merenung. Airmataku tak terbendung lagi. Aku menangisi keegoisan hatiku. Seharusnya, aku tidak begini. Tapi, aku tidak mau dibuat stress dan gila mengingat semuanya. Aku harus berjuang dan bangkit.
Mengenang masa lalu buatku sangat menyakitkan. Apalagi mengingat tentang orang-orang yang kita sayang. Ini sangat menyiksaku. Aku tak mau membiarkan diriku mengenang hal yang membuatku sakit.
Kata-kata Ayah tadi masih menyayat batinku. Menatap wajah Ayah yang sendu dan masih terlihat belum sepenuhnya sembuh, aku seperti dibunuh asa. Aku tidak akan pernah menyerah. Ayah pasti tahu itu.
Hening! Tanpa suara. Aku masih menyiapkan semuanya. Dua minggu lagi aku akan berangkat. Ayah semakin tak nyaman. Dia selalu melihatku. Kadang menatap tajam bahkan memancarkan pandangan yang tak enak ke wajahku.
“Yah, kenapa?” Ibu mengagetkan Ayah yang termenung.
“Oh, nggak apa-apa, Bu.”
“Sudahlah! Hanifa itu perempuan kuat. Ibu yakin dia bisa melewati semuanya.”
“Ayah Cuma khawatir kalau pun dia nanti ke Pakistan. Apakah ada yang membantunya ketika mendadak sakit?”
“Kan ada dokter pribadi buat dia disana, Yah.”
“Iya juga, sih, Bu.”
Aku yang baru saja turun ke meja makan tak sengaja mendengar pembicaraan Ayah dan Ibu di meja makan. Aku hanya mengelus dada. Menahan airmata. Aku tahu kalau aku perempuan lemah. Tanpa Ayah, aku mungkin sudah tak ada apa-apanya.
Aku mencoba menghampiri meja makan. Berusaha sebisa mungkin tersenyum kepada Ayah dan Ibu. Walaupun wajah pucatku masih tak bisa disembunyikan. Namun, aku masih bisa melontarkan kata-kata bahagia.
“Lah, kok Ayah makannya sedikit?” aku mencoba memecahkan suasana.
Ayah masih diam di meja makannya. Tanpa membalas sedikitpun ucapanku. Hanya terus menyantap nasi dan lauk yang berada di hadapannya. Ibu juga tak bisa bicara. Hanya diam yang menghiasi meja makan malam itu.
Aku segara bangkit dari kursi menuju kursi Ayah. Aku memeluknya dari belakang. Mungkin Ayah khawatir denganku. Aku mencoba menguatkan pelukan di pundak Ayah. Tanpa disadari airmata Ayah jatuh.
“Yah, aku anak perempuan Ayah yang dari dulu memang lemah. Tapi, aku tak akan terlihat lemah dihadapan Ayah dan Ibu.”
Tangis ayah semakin deras. Ayah tak kuasa lagi melanjutkan makan malamnya.