“Rud, jangan lupa barang-barangmu disiapkan, ya. Kita akan mengurus barang masing-masing. Bawaanku sangat banyak.”
“Lha, Kakak bawa apa saja? Jangan seisi rumah diborong dong!”
“Haha! Kamu lucu. Ya enggaklah, Rudiiii!”
Mereka tertawa berdua di bandara. Orangtua mereka ikut mengantarkan anaknya masing-masing. Ayah dan Ibuku juga ikut mengantarkan. Ayah sengaja tidak masuk kerja hari itu untuk mengantarkanku ke bandara. Aku tahu, Ayah sedang menguatkan hatinya. Ayah sudah mengalah untuk berdebat denganku.
Burung besi itu sekilas mengingatku kepada Kayla yang berangkat ke Sorbonne dua bulan yang lalu. Dia nyaris tidak berangkat karena tidak mau berpisah denganku. Aku sengaja tidak datang ke bandara. Aku tak mau dia batal berangkat hanya gara-gara memelukku.
Suasana bandara di terminal keberangkatan internasional lumayan ramai juga. Sebentar lagi liburan musim panas. Indonesia hanya ada dua musim. Di negara Eropa memiliki empat musim yang semuanya datang silih berganti. Sangat berbahaya ketika musim dingin datang.
Jalanan diluar sana sungguh menggoreskan tinta kenangan tentang Indonesia dan cinta. Bagaimana aku berjuang dengan modal semangat. Banyak orang tidak yakin denganku. Bahkan, ada yang meremehkanku. Aku sungguh tidak menghiraukan sama sekali.
“Yuk, naik. Sudah dipanggil operator,” aku mengajak Rudi menaiki pesawat tujuan Pakistan.
“Kami berangkat, ya, Ayah, Ibu, Oom, Tante.”
“Hati-hati di jalan.”
Aku dan Rudi menaiki Qatar Airway. Perjalanan pertamaku ke luar negeri menggunakan pesawat ini. Kami menghabiskan waktu selama dua hari untuk sampai di Pakistan. Tepatnya di Benazir Bhutto International Airport.
Bandar Udara Benazir Bhutto! Bandara terbesar ketiga di Pakistan. Terletak di Islamabad. Nama bandara ini diambil dari nama pimpinan Pakistan, Benazir Bhutto setelah terbunuh oleh Perdana Menteri Pakistan, Yousaf Raza Gillani. Awalnya, bandara ini diberi nama Bandara Internasional Islamabad.
Selama di penerbangan, aku masih ingin bertanya kepada Rudi perihal pertemuannya dengan Mustafa beberapa waktu lalu. Aku masih tidak fokus dengan tujuanku mengingat Mustafa yang sangat keras dan pasti akan nekad untuk mencari Kayla.
“Kak?” Rudi menyapaku yang dari tadi gelisah.
“Kak...! Kak Hani!”
“Eh, ya. Ada apa, Rud?”
“Ada masalahkah?”
Aku terdiam ketika mendengar kata-kata Rudi. Tentu saja aku ada segudang masalah saat itu. Rudi sepertinya santai dan tidak memikirkan hal yang aneh-aneh. Dia sibuk dengan bacaannya. Dia sengaja membawa buku bacaan dari rumahnya.
Lumayan juga perjalanan kami selama dua hari ke Pakistan menggunakan pesawat. Transit juga sangat lama di Doha International Airport. Tidak ada penerbangan langsung dari Indonesia ke Pakistan. Tentu saja butuh banyak bahasan dan bacaan untuk menghilangkan kebosanan di perjalanan.
Aku mencoba memperbaiki posisi dudukku. Sekali-kali aku ke WC untuk buang air kecil. Ada makanan dan minuman hangat yang disediakan pesawat untuk penumpangnya. Kebetulan sekali ruangan pesawat sangat dingin. Delapan jam penerbangan menuju lokasi transit di Doha.
“Hmm...! Tidak ada masalah. Hanya sedikit kurang enak badan.”
“Kakak bawa obat, kan?”
“Ya. Coba minum obatnya, deh. Sebentar lagi menuju siang. Ini ada makanan untuk pengganjal perut sebelum minuman obat.”
Rudi menunjukkan makanan khas Indonesia juga ada khas Pakistan. Aloo Paratha! Makanan khas Pakistan yang dibuat dari adonan yang berbentuk bulat tipis lalu digoreng dengan minyak panas. Ada isian kentang, bawang yang dibubuhi bumbu Masala. Aloo Paratha juga disediakan dalam pesawat tujuan Pakistan untuk orang asli Pakistan yang melakukan perjalanan luar negeri.