Satu Langit Dua Cerita (Kosakata Cinta di La Sorbonne)

Martha Z. ElKutuby
Chapter #18

Welcome to Pakistan

Perjalanan masih panjang. Saat ini masih di Doha. Sebentar lagi akan menuju Islamabad. Aku masih sempat istirahat sejenak melepas lelah. Memang susah menjadi aku. Semuanya harus jadi terstruktur sesuai arahan dokter.

“Rud, di cek lagi semua barangnya. Nanti kita beres-beres total di Lahore saja.”

“Oke, Kak!”

Rudi kembali mengecek semua bawaan kami dari Indonesia. Memang tidak semua diturunkan. Ada yang langsung dipindahkan untuk transit. Pesawatnya masih sama ternyata. Rudi tergopoh-gopoh membawa barang-barangnya. Tak lupa camilanya. Biarpun dia suka membaca dan menonton. Temannya selalu camilan.

Masih di Doha! Rudi segera mengabari temannya untuk menunggunya di Lahore. Sesampai di Islamabad, kami tidak akan singgah dimanapun. Hanya langsung ke Lahore. Kami akan menaiki bus ke Lahore. Sekitar empat jam perjalanan menuju Lahore dari Islamabad.

***

“Welcome to Benazir Bhutto International Airport!”

Begitu bunyi operator pesawat Qatar Airway yang kami tumpangi. Banyak yang turun di bandara terbesar ketiga Pakistan itu. Aku dan Rudi segera turun dan menunggu bagasi diturunkan. Hampir satu jam menunggu bagasi. Kami keluar dari bandara dengan lega.

“Panasnya!” Rudi mendesah.

“Hehe. Selamat datang di Pakistan, Rud!” aku berceringai melihat tingkah Rudi.

“Ah, Kakak! Bisanya ngetawain aja.”

Rudi segera meninggalkanku untuk menuju kursi tunggu di luar bandara. Kami sedang menunggu jemputan taksi online untuk menuju terminal kota. Disana ada bus menuju Lahore.

Jalanan di Pakistan sangat menyeramkan. Orang-orangnya termasuk yang tidak sabar berlalu lintas bahkan bisa dibilang sangat mengerikan jika kita menyeberang jalan. Ada sebagian kota yang memang ramah di jalan raya.

Faisal Movers Bus Terminal! Terminal bus terkenal di Islamabad. Ada bus sewa eksekutif disana. Dilengkapi dengan snack dan air mineral juga ber-AC. Perjalanan selama empat jam menuju Lahore tidak akan kepanasan.

“Faisal Movers Bus Terminal, Sir!” aku menunjukkan lokasi untuk naik bus ke pengemudi taksi.

“Okay, Miss!”

Aku dan Rudi naik bergantian. Semua barang dan koper sudah diatur oleh pengemudi taksi. Tuan Baashir! Nama pengemudi taksi kami menuju Faisal Movers. Taksi dengan cat kuning itu melaju membelah kota hingga kami takjub dengan pemandangan di Islamabad. Tidak ada yang indah memang. Tapi, berkesan mendapatkan suasana baru.

“Besok, aku akan mulai bekerja. Adakah rencanamu besok, Rud?”

“Aku mau bertemu temanku di Minar-e-Pakistan. Monumen Nasional penuh sejarah.”

“Siapa nama temanmu?”

“Azeeb el Maulana!”

Pengemudi taksi yang sedari tadi diam kaget mendengar nama Azeeb el Maulana. Seolah-olah nama itu menjadi misteri dalam kasus kriminal yang pernah ada di Pakistan beberapa waktu yang lalu.

“Are you okay, Sir6?” aku mencoba membaca wajah kaget dari pengemudi.

“Hmm... I’m okay, Miss! Sorry, I listen to your conversation7.”

“Never mind8 aku mengangkat bahuku tanda tidak masalah.

               Taksi melaju sangat cepat. Wajah Tuan Baashir masih sekilas ketakutan. Mungkin saja dia sangat takut nanti akan terlinat dalam masalah pengadilan Azeeb el Maulana. Dia tidak akan mau dimintai saksi.

Azeeb el Maulana terlahir dari keluarga kaya keturunan Mesir-Pakistan. Dia memang hidup sesukanya. Banyak kasus yang diembannya dalam waktu enam bulan ini. Namun, kepolisian Pakistan masih bisa membebaskan dengan modal uang dari ayahnya.

Rudi mengenal Azeeb dari ikut konferensi internasional di Malaysia setahun yang lalu. Anak itu masih baik-baik saja. Tidak ada kata curiga yang menggambarkan wajah Azeeb. Rudi juga tidak menaruh rasa khawatir pada dirinya ketika berteman dengan Azeeb.

Azeeb memendam luka lama yang pernah pudar dari hatinya. Ketika dia terlahir bukan sempurna. Dia penderita down syndrom tapi dia sangat jenius. Banyak konferensi yang dia menangkan bahkan pendapatnya masih dipertimbangkan di dunia internasional.

Lihat selengkapnya