“Dia sudah berangkat ke Delhi. Sepertinya, dia sedang menemani Hanifa bertugas di Delhi.”
“Kamu ikuti saja. Kalau ada yang kurang, kabari saya.”
“Oke.”
Azeeb juga mengikuti perjalananku ke Delhi. Selalu dia melaporkan kepada Mustafa. Azeeb menjadi suruhan Mustafa untuk pembalasan dendamnya kepada Rudi. Rudi memang sudah sedikit waspada kalau memang dia menjadi target Mustafa.
Bus Pakistan Tourism Development Corporation (PTDC) sudah siap berangkat dari terminal bus Lahore. Selesai membeli tiket seharga Rs1800 setara dengan Rp180,000,- di Indonesia untuk satu orang. Semua barang sudah selesai dikemas.
Sudah pukul empat pagi. Salman dan Bimo sudah bersiap untuk mengantarkanku dan Rudi ke terminal bus Lahore. Aku memilih untuk istirahat sejenak menuju terminal bus. Masih aku rasa sisa lelah kemarin. Rudi masih berbicara dengan Salman dan Bimo.
“Han, take care of your health!46” Salman menghampiriku sebelum menaiki bus.
“Insha Allah. Don’t worry. I’m okay!47”
Aku langsung merebahkan tubuhku di kursi penumpang bus. Perjalanan menuju Delhi dengan jalur langsung sekitar sepuluh jam. Akan ada empat pemberhentian sebelum sampai ke Delhi.
Azeeb juga mengikutiku di bus setelah ini. Kemungkinan kami tiba di Delhi dalam waktu bersamaan. Dia akan menguntit Rudi. Sesuai bayaran dan kesepakatan dengan Mustafa. Rudi harus dihabisi.
***
“Kita akan menunggu di kursi penumpang, Rud! Ada Rajhi yang akan menjemput.”
“Oke, Kak!”
Terminal Dr. Ambedkar Delhi. Terminal bus yang diberi nama seorang doktor ekonomi dari India. Dia sangat berperan dalam reformasi India. Selain menjadi doktor, dia juga ahli hukum.
Tak lama, Rajhi datang menjemputku dan Rudi. Aku hanya ada waktu lima hari di Delhi. Sisanya, aku akan kembali lagi ke Pakistan. Aku sebagai muslimah, tidak akan memungkinkan untuk tinggal lama di Delhi.
Salman sempat khawatir melepasku ke Delhi. Beruntungnya, ada Rudi yang menemani. Kalau aku akan pergi sendiri, mungkin Salman tidak akan mengizinkan.
Rajhi juga salah satu anggota Asian News International (ANI) yang berkantor di Delhi. Kantor berita yang didirikan 1971 ini masih berdiri megah di tengah Kota Delhi. Liputan mereka sangat dipercaya. Semua berita fakta bisa dipertanggungjawabkan.
Salman sengaja menghubungi Rajhi untuk mengantarkanku ke ICHR dimana Ayah Salman bekerja. Hanya Prof. Singh Abdullah yang tahu cerita aslinya seputar konflik Pakistan dan India ini.
Dari dulu, Salman sudah tertarik untuk mencari berita ini. Namun, dia dikecam habis oleh pemerintah Pakistan. Belum lagi ayahnya seorang muslim India yang akan dihabisi oleh pihak India bila Salman mengabarkan yang sebenarnya.
Berbeda dengan orang diluar dua negara ini yang mencari beritanya. Relatif aman dan juga untuk mengungkapkan sebagian dari konflik Pakistan dan India.
***
“Is lojing shulk ka bhugataan Salman pahale hee kar chuke hain. Achchha aaraam karo!48” senyum Rajhi di lobi hotel.
“Aapaka Dhanyavaad, Rajhi!49” aku membalas senyumannya.
Curzon Road Hotel! Letaknya tidak jauh dari ANI. Aku juga tidak membutuhkan waktu lama untuk berkunjung kesana. Begitu pula dengan ICHR, relatif dekat. Transportasinya juga terbilang mudah.
Aku dan Rudi memasuki kamar masing-masing. Kondisiku mulai menurun. Sepertinya, harus segera istirahat. Beberapa hari ini aku lumayan tegang karena memikirkan masalah Rudi. Entah mengapa aku sangat khawatir dengan posisi Rudi disini.
“Berkabar kalau ada apa-apa ya, Kak.”
Aku mengangguk dan langsung masuk kamar. Rudi sepertinya membaca raut wajahku yang lumayan pucat. Tak lama, ada pelayan hotel yang mengantarkan makanan juga minuman. Aku hanya mencicipi beberapa makanan ringan itu, lalu tidur.
“Hani! Kamu pilih dia mati atau mengembalikan Kayla ke Indonesia?”
“Sudahlah! Aku tidak ada hubungannya denganmu. Begitu pula dia!”
“Dia sudah berani menentangku. Kamu tidak akan bisa melawanku.”
“Haahhh... Astaghfirullah” aku terbangun dari mimpi burukku.
Suara tawa sombong Mustafa terdengar menggema di ruangan serba gelap. Keringat dingin bercucuran di badanku. Aku semakin sesak dan dadaku mulai sakit. Aku dengan cepat mengabari Rudi. Aku sudah tidak sanggup lagi berdiri. Untung saja obatnya masih disamping kasurku.