Selesai kelas sesi pertama di hari pertama kuliah magisternya. Kayla menelpon Hamzah. Dia menceritakan semua yang dialaminya sejak semalam. Mimpi buruknya tentangku yang merusak moodnya pagi ini. Kuliah hari ini memang lancar, tidak selancar hati Kayla yang mulai khawatir dengan berita kemaren di Menara Eiffel.
“Aku yakin itu Kak Hani,” kata Kayla kepada Hamzah.
“Barangkali itu mirip saja., Kay,” balas Hamzah.
“Aku yakin, Ham! Percayalah!”
Hamzah hanya terdiam sebentar. Tak lama ponsel itu ditutup. Kayla lemas dan merasa lelah hati. Dia buru-buru pulang ke asramanya. Mengurung diri hingga senja. Tanpa ada satu kata pun yang terlontar di bibirnya. Saat ini, dia hanya berpikir.
Dering telepon asramanya bergetar. Ada Hamzah menunggu di depan asramanya. Kayla sejujurnya malas menemuinya. Namun, dia terpaksa harus menuruti. Pasalnya, Hamzah akan menunggu sampai Kayla keluar. Tak peduli hingga besok pagi.
“Kita ke Le Duc Cafe,” tanpa aba-aba, Hamzah menarik Kayla ke Le Duc Cafe.
“Tunggu! Aku butuh istirahat.”
“Ada sesuatu yang akan kutanyakan.”