“Kita mau jalan kemana lagi, Kay?”
“Adakah yang membuatku senang dekat sini?”
“Jalan-jalan menikmati suasana Sorbonne. Sebentar lagi salju turun. Kalau kamu mau, kapan-kapan kita main sky bersama.”
“Mungkin bisa! Aku memilih untuk mendinginkan hatiku dulu. Kamu tahu? Aku lagi apa?”
“Ya.”
Mereka berjalan hingga mengelilingi Kota Sorbonne. Banyak terlihat klub, restoran, kafe, dan bar.
Tik...tik...tik...
“Huh! Bulatan salju!” teriak Kayla di depan Ahmed.
“Wow! Semoga kamu bahagia, Kay!”
Ahmed hanya bergumam dalam hati. Sebab, dia hanya sebatas nenemani Kayla yang dulu pernah bertemu dengannya di halaman kampus. Kayla berjalan dengan rasa rindunya. Gundah! Terasa sangat menyesakkan dadanya.
Kali ini dia sudah sedikit tenang walaupun masih bingung cara mendamaikan hati dan dirinya sendiri. Namun, dia selalu menyimpan hal itu semua. Terkadang dia juga melakukan kegiatan-kegiatan yang menurutnya bisa melupakan dan mendamaikan hatinya.
“Ah! Aku nggak bisa! Bagaimana caranya untuk mengikhlaskan semuanya?”
Dia menangis sendiri di depan kaca kamarnya. Pikirannya jauh melayang membelah laut dan pulau. Dia teringat Indonesia.
“Papa tak pernah tahu aku sesakit ini!”
Kembali air matanya jatuh. Dia juga tak bisa menyalahkan Papanya. Sebab, ini juga impiannya dari dulu. Dia hanya menjalankan semuanya dengan rasa sesak.
***
“Non, Dr. Josh!84” bentakku.
“Kamu harus di dampingi orangtuamu, Hani!”
“Dokter! Jangan paksa saya. Ada Rudi disini,” tegasku dengan mata tajam.
“Oke! Itu terserah kamu!” dr. Josh terdiam.
Tak lama, dr. Josh berpikir bagaimana caranya membuatku sembuh dan bisa bahagia lagi. Dia memandangi jendela bening yang sudah putih dengan salju. Dia tak bisa memaksakan kehendaknya lagi kepadaku. Hanya ada satu cara untuk membuatku bisa bahagia. Membantuku bertemu dengan Kayla.
Aku terdiam di kursi tamu ruangan dr. Josh. Aku hanya menundukkan kepala dan menghitung-hitung jarinya sambil terisak. Sesekali aku memandangi pintu dan langit ruangan itu. Menahan airmata yang aku tak mau lagi mengeluarkannya.
“Baiklah! Kamu mau apa?” dr. Josh mendekatiku.
“Saya hanya butuh bertemu dengannya. Cukup!”
“Oke. Saya bantu!”