Seminggu berlalu. Waktu pun semakin cepat mengejar masa depan. Selangkah demi selangkah mengungkapkan kisah. Kisah insan ciptaan Allah yang bersandiwara di dunia. Direkam menggunakan kamera Tuhan yang tersebar dimana-mana.
“Ham, aku baru ingat. Apakah benar Kak Hanifa menyusulku ke Sorbonne? Bukankah dia tidak boleh berjalan jauh sendirian?” Kayla sibuk menerka-nerka kejadiannya denganku.
Kayla masih kurang percaya dengan perkataan Rudi. Benar saja! Kadang Rudi sering becanda dan membohonginya. Kali ini dia ada rencana untuk menelpon ayahku.
“Mungkin saja! Apa kamu nggak kepikiran untuk menelpon orangtuanya?”
“Yah. Benar juga ya? Sebentar!”
“Oke.”
Kayla dengan sigap mengambil ponselnya dari kantong jaketnya. Sibuk mencari nomor Ayahku.
“Aku telpon dulu ya, Ham? Kamu tunggu disini. Jangan kemana-mana.”
“Oke, Bu Bos!”
Kayla sedikit menjauh dari Hamzah untuk menelpon Ayahku di Indonesia.
***
“Assalamu’alaikum,” Ayah mengangkat telpon Kayla.
“Wa’alaikumussalam, Ayah! Ini aku, Kayla.”
“Oh ya? Kayla, apa kabar? Bagaimana studimu?”
“Alhamdulillah baik, Yah! Studiku lancar. Alhamdulillah.”
“Tumben kamu menelpon jauh dari Sorbonne. Ada kabar apa?”
“Oh iya. Ini, Yah. Aku mau bertanya, Kak Hani ada di rumah?”
Ayah sedikit kaget dengan pertanyaan Kayla yang menanyakanku. Sebelum ke Sorbonne, aku sudah berjanji dengan Ayah untuk tidak memberitahukan Kayla kalau aku akan ke Sorbonnne. Aku hanya ingin mengawasi Kayla dari jauh saja.
“Oh, Hanifa? Hanifa sedang keluar,” jawab Ayah gugup.
“Ayah kenapa?”
“Tak apa-apa, Nak! Hanya saja Ayah sedikit bingung.”
Ayahku masih terdiam dari kejauhan. Nampaknya ayah enggan menceritakan kepergianku ke Sorbonne yang melewati Pakistan dan India. Ayah juga sudah merasakan hal itu sejak lama. Aku pasti tidak akan menyerah begitu saja.
“Oh, tak apa-apa. Hanya saja, Ayah sudah berjanji sama Hani untuk tidak memberitahu kamu dimana pun dia berada. Tapi, kali Ayah bingung harus bicara apa denganmu.”