Di sebuah sudut kota yang tidak terlalu ramai terdapat rumah kecil berdinding kayu yang sebagian catnya sudah memudar. Di dalamnya, kehangatan selalu menyelimuti, terutama saat sore hari, ketika dapur mungil itu menjadi pusat kehidupan. Rahma dengan jilbab yang sederhana yang selalu rapi membingkai wajah teduhnya sedang sibuk di depan kompor. Aroma bawang putih tercium samar berpadu dengan wangi khas yang selalu di nanti oleh dua pasang mata kecil.
Intan berlari kecil ke dapur dengan mata yang berbinar, “Ibuuu! Sudah masak mi?”
Rahma tersenyum lembut dengan tangan yang cekatan mengaduk sesuatu di panci, “Sebentar lagi, sayang. Intan sudah cuci tangan?”
Intan langsung bersemangat menjawabnya, “Sudah dong! Tadi Intan bantuin Bunga menyiram bunga di depan. Bunga suka sekali baunya.”
Di belakang Intan muncullah Bunga, ia tak banyak bicara. Namun, matanya yang lebar selalu memperhatikan setiap gerak-gerik kakaknya dan Ibu. Ia memegang sebuah bunga melati kecil yang sudah sedikit layu di tangan mungilnya.
Rahma, “Anak-anak Ibu memang rajin. Nah, Bunga sini dekat Ibu.”
Bunga melangkah pelan dengan menyodorkan bunga melati itu pada Rahma, “Untuk Ibu.”
Rahma menerima bunga itu dengan tersenyum haru dan mencium aroma bunga itu, “Terima kasih, sayangku. Wangi sekali.”
Intan, “Ibu, mi-nya sudah siap?”
Rahma, “Hehe, sabar ratu mi!. Ini Ibu mau siapkan. Kalian duduk manis dulu di meja ya.”
Mereka berdua pun menurut apa yang di katakan oleh Rahma dengan duduk di bangku kayu kecil yang sudah usang. Mata Intan tak lepas dari panci di tangan Rahma, sementara Bunga dengan tenang mengamati kakaknya. Di dapur sederhana itu, bukan hanya mi yang di masak, tapi juga kehangatan, cinta, dan harapan yang selalu tersaji setiap hari.
Rahma dengan cekatan memindahkan mi dari panci ke dalam tiga mangkuk kecil. Uap hangat mengepul membawa aroma yang akrab dan menenangkan. Intan tak sabar, ia menggeser kursinya sedikit lebih maju. Bunga dengan mata bulatnya menatap penuh harap ke arah mangkuk-mangkuk itu.