Hari-hari berlalu di rumah Rahma dengan irama yang tenang dan penuh makna. Setiap senja saat langit mulai memerah dan azan magrib berkumandang dari musala terdekat, ada satu ritual yang tidak pernah terlewat. Saatnya mi instan di siapkan. Bukan sekadar rutinitas mengisi perut, ini adalah momen sakral yang mengikat mereka bertiga.
Intan membawa piring-piring bersih dari rak, “Ibu, Intan sudah siapkan piringnya! Sekarang tinggal mangkuknya.”
Rahma tersenyum sambil menyalakan kompor gas kecilnya yang sudah berkarat, “Anak pintar. Bunga mana?”
Dari balik pintu kamar muncul Bunga dengan rambut sedikit berantakan dan boneka beruang yang sudah usang dalam pelukannya. Ia berjalan mendekat ke arah Rahma, seolah tahu persis apa yang terjadi selanjutnya.
Suara pelan Bunga, “Bunga sudah bantu Kakak rapikan mainan.”
Rahma, “Bagus sekali. Nah, sekarang kita siap-siap buat mi lagi, ya. Intan tolong ambilkan bungkus mi di kotak biru itu.”
Intan bergegas menuju kotak biru dengan mata yang berbinar, “Yang rasa ayam bawang, Bu?”
Rahma, “Iya, yang itu. Rasanya sudah melekat di lidah kita, ya.”
Rahma menuangkan air ke dalam panci yang sedikit penyok. Air itu mendidih dengan cepat mengeluarkan gelembung-gelembung kecil yang tampak menari. Intan mengulurkan sebungkus mi instan. Rahma membuka bungkusnya dengan hati-hati mengeluarkan kepingan mi kering dan bumbunya.