Sebuah ruang tunggu kecil di dalam pabrik tekstil. Beberapa kursi kosong dan poster keselamatan kerja tertempel di dinding. Rahma duduk gelisah, tangannya sesekali meremas ujung kerudungnya. Di hadapannya, Bu Mita duduk di balik meja sederhana, lalu meneliti berkas lamaran Rahma.
Clack! Clack!
Suara deru mesin pabrik samar-samar terdengar.
Bu Mita menutup map lamaran Rahma, lalu tatapannya beralih pada Rahma, “Ibu Rahma, ya? Dari berkas yang saya terima, Ibu melamar sebagai operator produksi?”
Rahma mengangguk cepat, namun suaranya sedikit bergetar, “Benar, Bu. Saya siap bekerja keras. Saya sangat butuh pekerjaan ini, Bu.”
Bu Mita menghela napas pelan, “Baik, Ibu Rahma. Saya sudah melihat data diri Ibu. Pendidikan terakhir SMP, dan usia Ibu, kalau boleh saya tahu berapa sekarang?”
Rahma menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya dengan keyakinan yang dipaksakan, “Tiga puluh lima, Bu. Tapi saya masih kuat, kok. Saya biasa kerja serabutan, angkat-angkat barang berat juga biasa. Anak saya dua, perempuan semua masih kecil-kecil, Bu. Mereka butuh makan dan sekolah.”
Bu Mita mengernyitkan dahi dengan tatapan lembut, namun tetap professional, “Ibu Rahma, kami mengerti posisi Ibu. Tapi untuk posisi operator produksi di pabrik kami, ada beberapa kriteria yang harus di penuhi. Salah satunya adalah Batasan usia maksimal 30 tahun, dan pendidikan minimal SMA.”
Rahma terkejut dan kedua matanya membelalak, Tapi, Bu, say aini cekatan. Saya bisa belajar cepat. Soal mesin-mesin itu, saya yakin bisa menyesuaikan diri. Usia saya memang 35 tahun, tapi fisik saya kuat, tidak gampang sakit. Tolonglah, Bu.”
Bu Mita mengambil pulpen dan mengetuk-ngetuknya secara pelan di meja, “Maaf, Ibu Rahma. Ini sudah kebijakan perusahaan. Karyawan baru di lini produksi memang kami utamakan yang lebih muda dan punya latar belakang pendidikan yang relevan agar proses adaptasi dan pelatihan bisa lebih efisien. Lagipula pekerjaan di pabrik ini membutuhkan ketelitian dan kecepatan yang tinggi, apalagi untuk produksi massal seperti kami.”
Dada Rahma terasa sesak, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, “Jadi, saya tidak bisa di terima, Bu? Karena usia saya? Karena saya cuma lulusan SMP?”
Bu Mita menghela napas dan terlihat sedikit tidak nyaman, “Sejujurnya, ya, Ibu Rahma. Kami harus mengikuti prosedur. Kami tidak bisa memprioritaskan mereka yang tidak memenuhi kriteria dasar. Apalagi dengan kondisi persaingan mencari kerja saat ini banyak sekali pelamar yang jauh lebih muda dan berpendidikan tinggi.”
Rahma menunduk bahunya bergetar, air mata menetes membasahi pipi, “Saya tidak tahu harus kemana lagi, Bu. Semua lowongan sepertinya butuh ijazah tinggi, butuh usia muda. Saya cuma ingin menghidupi anak-anak saya. Apa salahnya kalau saya berusaha? Apa salahnya kalau ibu dari dua anak ini mau bekerja keras?”
Bu Mita merasa iba, namun tetap menjaga jarak professional, “Ibu Rahma, saya turut prihatin. Tapi kami tidak bisa mengubah kebijakan hanya karena satu kasus. Saya sarankan Ibu untuk mecari pekerjaan yang lebih sesuai dengan kualifikasi Ibu. Mungkin pekerjaan di sektor lain yang tidak terlalu terikat dengan batasan usia atau pendidikan.”
Rahma mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata sambil menatap Bu Mita dengan pandangan putus asa, “Sektor apa, Bu? Saya sudah mencoba ke sana kemari. Di mana-mana sama saja. Apa saya harus menyerah saja? Meninggalkan anak-anak saya kelaparan?”