Pagi hari di kontrakan Rahma. Matahari pagi menyusup dari celah-celah genteng, menyinari wajah Rahma yang tampak lelah, namun penuh tekad. Ia menatap kedua anaknya yang masih terlelap. Kata-kata Bu Mita kemarin masih terngiang, menusuk-nusuk hatinya. Tapi, ia tidak bisa menyerah. Ia harus mencari cara.
Tiba-tiba pandangannya jatuh pada ember plastik biru di sudut ruangan dan sebatang sabun cuci yang tersisa. Sebuah ide sederhana, namun terasa seperti secercah harapan.
Beberapa hari kemudian. Rahma sudah mulai menjalankan bisnis barunya. Dengan modal seadanya, ia berkeliling dari rumah ke rumah tetangga dengan menawarkan jasa mencuci pakaian.
Grek! Kricik! Kricik!
Suara ember bergeser, gemericik air, dan suara gosokan kain terdengar dari halaman belakang sebuah rumah.
Rahma sedang berjongkok di samping bak air, tangannya lincah mengucek pakaian. Keringat membasahi pelipisnya, namun ia tak mengeluh. Di sampingnya, ember berisi pakaian kotor mengantre.
Bu RT mendekat dengan membawa segelas teh hangat, “Rahma, ini minum dulu. Jangan di porsir terus.”
Rahma tersenyum sambil menerima gelas teh, “Terima kasih banyak, Bu RT. Alhamdullilah, lumayan banyak cucian hari ini.”
Bu RT, “Syukurlah. Saya dengar dari tetangga lain, cucianmu bersih sekali, Ma. Jadi pada mau pakai jasamu.”