Satu Mie Tiga Mangkuk

Moycha Zia
Chapter #12

Chapter #12 Bunga demam

Sebuah kamar sederhana yang memiliki dinding dengan cat yang sudah usang. Hanya ada sebuah tikar usang dan beberapa perabot sederhana. Lampu bohlam kuning menerangi ruangan dengan temaram.

Bunga terbaring lemah, napasnya tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi wajahnya pucat pasi. Rahma duduk di sampingnya, mengusap kening Bunga dengan handuk kecil yang sudah basah dengan air kompresan.

Suara Rahma bergetar hampir menangis, “Bunga, sayang. Bangun, Nak. Panasmu tinggi sekali.”

Rahma menempelkan punggung tangannya ke dahi Bunga, lalu ke dahinya sendiri. Panas Bunga terasa membakar.

Rahma berkata, “Ya Allah. Kenapa begini? Kenapa harus sekarang?”

Rahma melihat ke sudut ruangan ke arah kaleng biscuit yang usang yang biasanya ia gunakan untuk menyimpan uang. Kaleng itu kosong. Sebuah keputusasaan yang dalam terpancar dari matanya.

Rahma berbisik pada dirinya sendiri, “Uang hasil mencuci tidak cukup. Untuk ke puskesmas tidak cukup, bagaimana ini, Nak? Ibu harus bagaimana?”

Bunga merintih pelan, batuk kering. Rahma segera mencondongkan tubuhnya memeluk Bunga dengan hati-hati.

Rahma, “Sabar ya, Nak. Ibu di sini. Ibu akan kompres terus. Semoga panasnya cepat turun. Ya Allah, berikanlah hamba kekuatan.”

Rahma kembali mengompres Bunga. Setiap usapan handuk di dahi Bunga adalah doa yang tak terucap. Wajahnya di penuhi ke khawatiran dan rasa bersalah, karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya.

Suara Bunga lemah, “Ibu, aku haus.”

Rahma cepat mengambil gelas berisi air putih di sampingnya, “Ini, Nak. Minum sedikit ya. Pelan-pelan.”

Rahma membantu Bunga minum dengan menopang kepalanya. Bunga hanya bisa meneguk sedikit air lalu terbatuk lagi.

Mata Rahma berkaca-kaca sambil memandangi wajah anaknya yang semakin pucat, “Bunga. Anakku. Jangan begini, Nak. Ibu tidak sanggup melihatmu sakit seperti ini. Andai Ibu punya uang lebih. Andai …”

Rahma terdiam sambil menatap kosong ke dinding. Bayangan antrean panjang di puskesmas, biaya pendaftaran, dan obat-obatan melintas di dalam benaknya. Semua terasa jauh tak terjangkau.

Tiba-tiba, Rahma memeluk Bunga erat, seolah-olah ingin menyalurkan semua kekuatannya, “Kamu harus kuat, Nak! Kamu pasti sembuh! Ibu akan terus di sini. Ibu tidak akan meninggalkanmu. Janji!”

Air mata Rahma akhirnya tumpah membasahi rambut Bunga. Tangisnya tak bersuara hanya isakan-isakan kecil yang menyayat hati. Ia terus mengusap kening Bunga berharap keajaiban akan datang berharap kompresan air dingin itu cukup untuk menyelamatkan Bunga kecilnya.

Rahma masih di samping Bunga, kini ia bersandar ke dinding, kelelahan. Kompresan masih menempel di dahi Bunga. Tangisnya sudah reda, namun raut cemas tak sedikit pun pudar dari wajahnya. Bunga terbatuk pelan membuat Rahma tersentak.

Rahma mengusap rambut Bunga, “Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu.”

 

Lihat selengkapnya