Pagi hari yang cerah. Intan, kakak Bunga yang berusia sekitar tujuh tahun sedang mengenakan seragam sekolah dasar yang sedikit kebesaran. Ransel kecil bertengger di punggungnya. Bunga berdiri di sampingnya sambil memegang tangan Intan. Rahma berjongkok di hadapan Intan merapikan kerah seragam.
Rahma tersenyum bangga, “Nah, cantik sekali anak Ibu. Sudah siap sekolah?”
Intan mengangguk malu-malu, “Siap, Ibu. Tapi intan takut.”
Rahma menggenggam tangan Intan dengan erat, “Takut kenapa, sayang? Tidak perlu takut. Sekolah itu menyenangkan. Kamu akan bertemu teman-teman baru, belajar hal-hal baru.”
Intan menundukkan kepalanya, “Intan takut pelajaran matematika. Kata teman-teman, matematika itu susah.”
Rahma tersenyum. Ia teringat masa lalunya, bagaimana ia sendiri kesulitan dengan angka. Tapi kini, angka-angka itu adalah teman perjuangannya.
Rahma mengusap pipi Intan, “Siapa bilang matematika susah? Matematika itu seru, Nak. Ibu akan ajari kamu, supaya kamu tidak takut lagi.”
Intan mengangkat kepala dengan ragu, “Bagaimana caranya, Ibu?”
Rahma melirik ke arah gerobak gorengan, “Nanti sepulang sekolah, Ibu akan ajari kamu matematika di balik gorengan. Mau?”
Mata Intan berbinar, “Mau, Bu!”
Rahma mengecup kening Intan, “Bagus! Sekarang, berangkat ya. Belajar yang rajin. Bunga, jaga kakakmu sampai depan gang ya.”
Bunga mengangguk semangat, “Siap, Bu!”
Intan dan Bunga berjalan beriringan menuju sekolah. Rahma menatap punggung kedua putrinya dengan haru. Tekadnya semakin kuat, ia harus bisa memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya. Ia tak ingin mereka merasa sulit seperti dirinya dulu.