Satu Mie Tiga Mangkuk

Moycha Zia
Chapter #15

Chapter #15 Dagangan sepi, hati teriris

Sebuah ruang tamu sederhana yang juga berfungsi sebagai tempat Rahma menyiapkan gorengan. Ada meja kecil dengan sisa-sisa adonan, wajan, dan beberapa keranjang kosong. Di sudut ruangan, terlihat laci kayu yang agak usang. Sore menjelang malam.

Rahma sedang membereskan sisa-sisa adonan gorengan dengan gerakan lambat, wajahnya murung. Intan duduk di lantai sedang menggambar dengan pensil warna yang sudah pendek-pendek. Bunga asyik bermain dengan boneka lusuh di dekat kakinya.

Intan melirik Ibunya, “Ibu, kenapa hari ini gorengan sisa banyak?”

Rahma menghela napas panjang tanpa menoleh, “Iya, Nak. Mungkin orang-orang lagi tidak ingin makan gorengan Ibu.”

Intan, “Tapi kemaren juga banyak sisa, Bu. Kata teman-teman Intan, gorengan Ibu enak sekali.”

Rahma hanya tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke mata. Ia menatap keranjang-keranjang gorengan yang masih lumayan penuh. Tangannya berhenti bergerak.

Bunga mengulurkan bonekanya pada Rahma, “Ibu, Bunga lapar. Mau makan gorengan.”

Rahma menoleh pada Bunga dengan memaksakan senyum, “Nanti ya, sayang. Gorengannya sudah dingin. Ibu buatkan nasi dan telur saja, mau?”

Bunga mengerucutkan bibirnya, “Mau gorengan hangat.”

Suara Rahma bergetar, “Iya, nanti kalau ada rezeki, Ibu gorengkan lagi yang baru ya. Sekarang makan nasi dulu.”

Rahma bangkit berjalan gontai menuju laci kayu di sudut ruangan. Intan memperhatikannya dengan pandangan ingin tahu. Rahma membuka laci itu secara perlahan. Kosong, hanya ada beberapa lembar uang receh yang terlihat menyedihkan.

Rahma berkata dalam hati, “Astaghfirullah. Tinggal segini.”

Wajah Rahma memucat. Matanya berkaca-kaca, ia buru-buru menutup laci itu takut anak-anaknya melihat kekosongan itu.

Intan mendekat melihat Ibunya yang berubah menjadi murung, “Ibu kenapa? Sakit perut?”

Rahma berbalik cepat dengan memaksakan senyum lebar, “Tidak, Nak. Ibu tidak apa-apa. Hanya sedikit capek saja.”

Intan menatap mata Rahma dengan lekat, “Tapi mata Ibu merah. Ibu menangis?”

Rahma terhenyak. Ia segera memalingkan wajahnya, menyeka ujung matanya dengan punggung tangan.

Rahma tersenyum getir, “Bukan, sayang. Tadi kelilipan. Sudah, sana main lagi dengan Bunga. Ibu mau beres-beres dulu.”

Intan tidak beranjak, tapi ia memegang tangan Rahma yang terasa dingin.

Lihat selengkapnya