Satu bulan kemudian, rumah Rahma terlihat lebih sibuk dari sebelumnya. Di dapur, ada satu orang ibu tetangga yang membantu Rahma mengiris singkong, sementara Rahma sendiri sibuk menggoreng dan membumbui. Tumpukan singkong segar menanti untuk diolah. Intan sesekali membantu menempelkan stiker, dan Bunga bermain di dekat mereka terbiasa dengan hiruk pikuk produksi.
Rahma sambil mengaduk keripik di wajan, "Alhamdullilah, Bu Ina. Dengan bantuan Ibu, pekerjaan jadi lebih cepat selesai."
Bu Ina, "Sama-sama, Bu Rahma. Saya juga senang bisa dapat tambahan penghasilan. Senang melihat usaha Ibu maju pesat."
Pesanan dari Ibu Fahira berjalan lancar. Setiap minggu, Rahma berhasil memenuhi kouta yang di minta, bahkan terkadang ada pesanan tambahan dari pembeli lain yang tahu dari mulut ke mulut. Laci tempat penyimpanan uang kini tak pernah kosong. Rahma bahkan sudah bisa membeli beberapa peralatan dapur baru untuk menunjang produksinya, seperti alat pengiris singkong manual yang lebih cepat.
Rahma menatap tumpukan keripik yang siap di kemas, "Sebentar lagi pesanan Bu Fahira selesai. Setelah ini, kita siapkan untuk warung-warung dan titipan di sekolah Intan, ya, Bu."
Bu Ina, "Siap, Bu Rahma."
Kring! Kring!
Saat Rahma dan Bu Ina sedang sibuk, ponsel Rahma berdering. Nama Bu Fahira tertera di layar. Rahma segera mengangkatnya.
Rahma, "Assalamualaikum, Bu Fahira. Ada apa, Bu?"