Beberapa bulan kemudian, usaha keripik singkong barokah Rahma semakin di kenal. Pesanan dari catering Bu Fahira terus berlanjut yang di kelola oleh anaknya, di tambah permintaan dari warung-warung dan pesanan daring yang semakin banyak. Rahma sudah memperkerjakan dua ibu tetangga untuk membantu produksi. Dapur mereka kini di lengkapi dengan alat pengiris singkong elektrik dan mesin peniris minyak sederhana. Namun, di balik kesibukan dan kemajuan ini, Rahma mulai merasakan kegelisahan baru.
Rahma melihat tumpukan singkong yang lebih sedikit dari biasanya, “Bu Ina, Bu Indun, singkong kita tinggal sedikit lagi ya? Padahal pesanan untuk besok masih banyak.”
Bu Ina, “Iya, Bu Rahma. Stok singkong di pasar juga mulai menipis. Beberapa hari ini harga juga naik terus.”
Bu Indun, “Di kebun belakang juga sudah tidak sebanyak dulu, Bu Rahma. Sudah sering kita panen.”
Wajah Rahma kembali murung. Ini adalah tantangan yang tidak ia duga. Selama ini, singkong dari kebun belakang dan pasokan dari pasar local selalu mencukupi. Tapi kini, permintaan yang melonjak membuat pasokan bahan baku menjadi masalah serius.
Rahma menghela napas, “Bagaimana ini? Kalau bahan baku tidak ada, kita tidak bisa produksi. Pesanan Bu Fahira yang baru saja juga harus segera di siapkan. Saya tidak mau mengecewakan mereka setelah mereka percaya pada kita.”
Beberapa hari berikutnya, Rahma mencoba mencari singkong ke berbagai tempat. Ia mendatangi pasar-pasar di kota sebelah, bahkan menghubungi beberapa petani kecil. Namun, hasilnya nihil atau harganya sangat melambung tinggi membuat biaya produksi membengkak.
Suatu sore, Rahma duduk termangu di teras rumahnya sambil memandang kebun singkong yang mulai jarang isinya. Intan mendekat sambil membawa buku gambarnya.
Intan, “Ibu kenapa murung lagi? Singkongnya habis ya?”
Rahma tersenyum getir, “Iya, Nak. Susah sekali mencari singkong sekarang. Kalau tidak ada singkong, kita tidak bisa membuat keripik.”