Dunia ini tidak dibangun oleh bercarik-carik puisi. Philanthropy dalam fiksi tidak jarang mengganggu, kadang terlalu remeh. Namun, bukan tidak mungkin bila banyak hal perlu jadi pelajaran dari mana saja bentuknya.
Kejelasan itu ada, sekalipun dalam ketidakjelasan. Tujuh belas tahun, delapan belas tahun. Sudah bukan umurnya memberi makan ego. Meskipun ego itu sendiri adalah konsumsi semua usia, tapi jangan konsumtif—pilih-pilih.
Tiga manusia, satu linear. Tidak ada perebutan. Cuma mengenai tiap orang yang tidak pernah bisa menyangkal kata "pernah". Pernah mencintai. Pernah mendukung. Pernah suka. Pernah tidak suka. Ini mungkin berisi tentang residivisme, masa muda, pikiran terbuka, pendewasaan, dan liku cerita dalam sebuah spektrum, bisa jadi cuma sebagian zarah dari keseluruhan dunia. Ini puzzle semesta—melalui labirin satu cerita.
Ini cerita tentang Raline, dengan nama sesuai akta lahir Raline Araposa. Gadis cantik campuran pintar. Nyaris luar biasa dan indah luar dalam—percaya jika ketulusan adalah investasi terbaik. Bukan malaikat, ia manusia. Manusia biasa. Mimpinya adalah masuk universitas jurusan sastra. Namun, berakhir dengan belajar mati-matian buat jadi mahasiswa teknik—dengan beasiswa yang jadi patokan.
Hidup tanpa seorang Ayah. Kematian cinta pertamanya di dunia itu menyisakan Raline serta Ibunya menjadi keluarga yang rapuh. Sudah berat rasanya sejak Raline belum punya ketertarikan sama sekali dengan enam huruf tersebut (s a s t r a). Segala hal lebih sukar lagi setelah Sang Ibu diberhentikan kerja, terpaksa cuma mengandalkan uang pensiun Ayahnya, saat kebetulan sekali ia mulai punya minat pada kuliah sastra yang kata orang; jurusan susah bikin kaya—sekalipun itu cuma asumsi yang memukul rata.
Orientasinya sama sekali bukan uang. Raline cuma mau mengerjakan apa yang ia cintai, tapi keadaan mengharuskan ia bertahan hidup; dengan cara tidak mempersulit diri mengikuti kemauan saja. Raline tahu persis sepenting apa kebutuhan dan keterbatasannya.
Keadaan memang terus berbuat jahat dan nyata. Harus jatuh adalah harus. Waktunya sedih adalah sedih. Luka akan selalu perih, kecuali segera memutuskan sendiri kapan waktunya ‘menganggap’ pulih. Raline harus membuang jauh semua keinginan akan jurusan impiannya. Hal yang terjamin akan dijalani sepenuh hati, dengan pasrah diganti oleh separuh hati yang tidak punya pilihan lagi.
Fakultas teknik—tidak pernah ada dalam benak. Satu-satunya jalan menuju prospek kerja yang cukup baik, setidaknya bagi saat ini terbuka juga bantuan beasiswa—Ia enggan menunda lebih lama lagi kesejahteraan keluarga terutama Ibu tercinta.