Retrouvailles merupakan perasaan bahagia ketika kembali bertemu seseorang setelah sekian lama.
“Raline!”
“Lo kok pake baju kemaren, sih?” sahabat Raline mulai ngoceh lagi.
Rana memang lebih riweuh daripada Ibunya sendiri. Teman debat kusir soal makanan, baju, atau riasan. Tapi, ia orang baik. Raline dan Rana sudah kenal cukup lama karena rumah yang bersebelahan, masuk SMA yang sama pula, dan Rana selalu mau diminta mengantar Raline ke mana-mana. Termasuk kawan berburu novel Harry Potter dengan harga murah parah.
“Masih bersih, Na, lagian cuma ke rumah lo ini,”
“Perhatian Raline Araposa, denger ya,” Rana mulai dengan akting membuat pengumuman.
“Yang pertama, baju itu mode. Kostum itu faktor cantik nomer TIGA setelah makeup. Yang kedua nih penting, HIGIENIS.”
“Cepet ganti, gue tungguin kok,” sambung Rana kemudian.
Ada lima faktor yang memenuhi kecantikan menurut Rana;
Satu, kulit yang terawat. Sudah pasti erat kaitannya dengan produk skincare. Padahal heartcare atau perawatan hati adalah satu-satunya yang tidak berisiko, tidak akan iritasi.
Dua, riasan wajah yang bagus. Hubungannya sama berbagai macam makeup—menurut Raline kesannya malah seperti alat lukis. Padahal kacamata karena banyak membaca buku adalah eyeshadow terawet, pipi yang tersipu merupakan blush on terbagus, dan ucap yang baik tetap lipstick paling merona.
Tiga, baju yang oke. Kata Rana, kalau bisa dari brand terkenal, kalau tidak ada minimal enak dilihat. Padahal utamanya adalah nyaman dipakai.
Empat, anggun dan feminim. Padahal ada waktunya seorang wanita harus bekerja keras dengan mengesampingkan konsep lemah gemulai itu sendiri.
Lima, faktor pendukung lain, boleh itu cerdas, baik, unik, atau apa pun. Raline sering tidak habis pikir dengan sahabatnya yang satu itu, bagaimana bisa faktor terpenting malah dalam urutan terakhir. Ada-ada saja.
“Ya udah diganti, demi mute mulut lo, bukan biar cantik-cantik itu,”
“Cepetan, sepuluh menit!”
***
Hari ini rencananya adalah Raline membantu Rana merancang bahan persentasi kliping sastra. Raline sudah selesai lebih dulu, ia tidak banyak dispensasi seperti Rana.
Sampai juga di kamar Rana yang mirip kapal pecah atau pesawat sehabis turbulensi. Buku berserakan. Debu di sana dan sini. Pakaian yang belum sempat dilipat. Jelas sekali jarang disapu. Tubuh Raline mendadak agak mematung, statis. Matanya sedikit terbelalak. Belum genap sepuluh menit yang lalu, sahabatnya itu mengingatkan soal HIGIENIS.
Raline cuma menghembuskan napas panjang. Tidak protes. Memang itu dia Rana.
“Pasti sekarang lo mikir, gue kurang higienis dibanding lo, kan?” suara Rana memecah keheningan.
Raline hanya menggeleng kaget ketika dengan sial ekspresinya terbaca begitu transparan.
“Tapi itu gak bener, Raline. Gue sama lo itu beda,” keluar lagak percaya diri ala Rana.
“Lo tadi emang gak higienis, sedangkan gue itu sibuk,” lontarnya penuh beban.
Rana memasang wajah memelas, lalu mengusap puncak kepala Raline. “Lo tau sendiri kan, gimana sibuknya gue jadi sekretaris OSIS,”
Sahabatnya ini mulai lagi. Pembelaan diri yang sudah Raline hatam hingga hafal dari tiga tahun lalu.
Apapun itu, Raline akan selalu membalas dengan senyum, Rana tetap karibnya yang terbaik—terawet.
Meskipun selalu gitu-gitu aja cara berpikirnya, bantin Raline.
***
Mobil Compact Lux SUV warna putih sudah dipanaskan. Siap menyapa jalanan malam minggu dingin dengan Erlan yang lihai menyetir di dalam. Hari ini rencananya adalah pergi main video game ke warnet Luxury, langganan Erlan dan Gaza waktu SMP. Tentu tidak sendirian, ia pergi menjemput kawannya tersebut lebih dulu. Dua minggu satu sekolahan lagi dengan Gaza, baru sekarang mereka sempat bermain bersama. Belakangan ini keduanya sibuk oleh persiapan belajar universitas fakultas teknik.
Jurusan bergengsi, universitas ternama, beasiswa pula, dan sulit ditembus.
Dengan alasan masing-masing, keduanya sama-sama mengejar hal tersebut. Namun, ada sedikit perbedaan. Gaza itu nilainya cukup keren, pekerja keras soal bidang akademik. Sedangkan seorang manusia VIP bernama Erlan punya nilai akademik yang pas-pasan, kurang lebih selalu sama dengan nomor sepatunya; empat puluhan. Sepertinya itu bukan lagi perbedaan yang sedikit, lebih ke kaktus dengan pohon palem—beda jauh.
“Warming up! Pemanasan dulu sebelum mulai lagi belajar, ayo!” ujar Erlan bersemangat.
“Emang kapan lo belajar?” Gaza menceletuk sebuah ejekan.
“Tinggal di kota seru ini lagi, sekarang malam mingguan di Luxury, ini kayak mimpi, kangen banget gua sama lo!!” seru Erlan tidak bisa menyembunyikan antusiasme, sambil menepuk tangan sekali, ia berhamburan memeluk Gaza.
Lebay.
“Guci! GUCI gua!!! Lepasin ah lepas, lo alay,” tegas Gaza melepaskan diri.
“Apaan, sih, guci apaan?”
“Lo gak liat Guci gua hampir jatoh? udah ekstra hati-hati ini ngejaganya, pake peluk-peluk,” sanggah Gaza kesal.
Gaza menunjuk sebuah logo bertuliskan “GUCCI” pada bagian dada kiri jaketnya—jahitan glamor itu memang sudah mulai lepas.
“Sedih banget sih idup lo,”
“Emang bakalan copot saking sering lo pake, gue udah puluhan kali liat lo pake jaket ini di SMP, sekarang masih aja,”
Berubah air muka Gaza jadi pilu. “Lo tau kan ini satu-satunya favorit gue, satu-satunya sisa yang bermerk,”
“7 taun yang lalu keluarga gue masih kaya, sampe akhirnya punya banyak hutang, terus hidup susah kek sekarang. Dulu warnanya banyak, merk keren temennya guci lebih dari selemari, pas kabur buru-buru dari rentenir sialan itu gue cuma sempet bawa yang ini,” Gaza mendramatisir penuh penegasan.
“Udah beres ngasihanin diri sendirinya? Cepet jalan, ah!”
Gaza Si Mantan Konglomerat itu pun segera membuka pintu mobil Erlan. Alih-alih akan akan duduk di samping kemudi, ia memilih duduk di jok belakang.