Ada baiknya bertemu beberapa orang lebih dulu, beberapa nanti saja, dan beberapa lagi tidak usah bertemu sama sekali.
Satu minggu Raline berjalan lebih berat dari biasanya. Dalam satu minggu kali ini, kelas bimbingan selalu ada Erlan, sampai seterusnya—dengan sikap yang masih menjengkelkan. Setiap hari.
Ingatan Raline bahkan masih segar mengenai peristiwa dahulu. Tokoh utama dari cerita masa lalunya yang berakhir tidak menyenangkan itu harus keluar lagi dari ujung sudut pikir. Ia kira momentum yang berlalu akan cuma lewat dan lenyap, kemungkinan terulang bahkan enggan punya jaminan untuk tidak.
“Gue terakhir ke Yogyakarta, terus sekarang lagi pengen ke Bandung yang katanya kota romantis,” ujar Erlan yang sedang mengobrol dengan Gaza, Rana, Pra, dan Ann.
“Iya, Bandung emang Paris-nya Indo. Tapi, kenapa ke sana? Lo mau pergi sama pacar? Kencan?” tanya Ann.
“Iya,” jawab Erlan santai.
“Wah, seru banget bisa travel bareng pacar,”
Tampak semuanya ikut terbawa perasaan dengan jawaban Erlan. Kecuali Gaza, ia cuma menghitung tiga detik dengan jarinya untuk mendengar Erlan bilang—
“Ber-can-da, bercanda!”
“Tapi nanti suatu hari, gue bakal nemu cewek buat diajak ke sana beneran,”
“Yah, kira gue beneran lo punya pacar,” jawab Rana kesal karena sudah menyimak dengan serius.
“Dia emang jago lawak garing, gak usah dengerin!” celetuk Gaza yang paling paham kebiasaan kawannya.
Suasana begitu cair di sana, terdengar ada tawa. Kemudian datang Raline untuk duduk di bangkunya yang merupakan tempat ngobrol-ngobrol itu, entah habis darimana. Mendadak terlihat jelas bahasa tubuh Erlan bertransformasi jadi kaku dan masam.
“Apaan nih, Lan? Ngedadak mukanya datar depan Raline. Barusan lo habis ngelucu terus ketawa-tawa, sekarang kok gini?” tanya Rana yang heran memperhatikan keduanya.
“Kenapa cowok supel kayak lo malah jaga jarak sama dia? Apalagi kalian satu SMP, kan?”
Semakin kaku.
“Masalahnya adalah gue emang pemilih jadi orang,” akhirnya Erlan buka suara.
“Gue cuma mau bercanda sama orang yang gue inginkan, orang tertentu,” lanjutnya sambil menatap gidik ke arah Raline, kemudian berlalu untuk menghabiskan jam istirahat di luar kelas. Diikuti oleh Gaza yang sempat tertangkap bingung menghadapi situasi seperti tadi.
Raline memicingkan mata tanda lebih tidak menyukai keberadaan Erlan, dimanapun—kapanpun.
“Kenapa ini? Kok kalian musuhan gitu?” ujar Rana heran.
“Atau jangan-jangan, lo pernah pacaran, ya, sama Erlan?!”
“Eh, Na, nggak gitu! Lo ngomong apa, sih?!” Raline menjawab dengan hati-hati sambil memperhatikan sekitar, memastikan tidak ada ekspresi orang yang berpikiran aneh-aneh.