SATU SATURASI

nonetheless
Chapter #4

Menjadi Rahasia Umum

Ketika Bumi malah penuh dengan kekecewaan, Merkurius mungkin tempat yang aman. Lebur dengan badai Matahari.



Kelas bimbingan hari ke sekian dengan adanya Erlan. Bersyukur sekali jam istirahat kali ini Raline harus memfotokopi ratusan lembar Karya Tulis Ilmiah, waktunya merasa leluasa lebih banyak lagi. Kalau sudah di dalam kelas, terutama ada Erlan di sana, rasanya pengap sekali.

Keberuntungan tidak ada di tempat yang tepat lagi kemudian.

Saat hendak keluar membawa lembaran karya tulis, Raline mendengar kabar jika Erlan dijemput pulang untuk mengantar kakaknya ke bandara. Sial malah terasa. Ketika makhluk menyebalkan itu absen, Raline malah harus banyak menghabiskan waktu di luar kelas.

Jika boleh, Raline ingin mengharuskan Erlan ikut bersama pesawat yang siap terbang, ia mau sekali menyuruh Erlan membeli rumah baru di tempat yang jauh, menyarankan bersekolah pada dimensi yang lain, dan tidak pernah bertemu lagi. Seandainya hal itu mudah dilakukan. Sebab jangankan bicara yang macam-macam, yang penting-penting pun Raline memilih orang lain untuk mengatakannya kepada Erlan daripada ia sendiri yang harus. Kecuali Pak Danang yang menyuruh, itu lain perihal.

***

“Za, lo tau kan antara Raline sama si Erlan ada apaan?” tanya Rana tiba-tiba di tengah obrolan penghuni ruangan itu.

Gaza sontak bingung.

“Gue gak akan bilang apa-apa, semua bakal tau kalo emang antara mereka berdua ada yang ngomong,”

“Kalo lo gak ngasih tau kita-kita, gak akan gue bantu KTI lo yang seabad kelarnya itu!”

“Ih, Naaa! Itu hidup mati gue, gue takut ga bakalan balik ke—”

“7 taun lalu? Makanya,” ancam Rana.

Spontan Gaza mengulangi ucapan yang pernah dikatakannya setahun lalu. “Raline ditolak Erlan waktu kelas tiga SMP,”

“HAH?”

Semua yang ada di sana kaget bukan main.

“Cerita yang lengkap, cepetan!” paksa Rana.

Gaza bersusah payah menelan salivanya. “Jadi, Raline suka ke Erlan, dia ngirim Erlan puisi tiap hari, bersihin mobilnya, lain-lain deh, pokoknya dia suka banget. Udah jatuh cinta. Kasiannya lagi dia beneran tulus. Sampe sehari sebelum UN SMP, Raline nyatain perasaannya. Cuma itu… ya dia ditolak. Langsung. Gue liatnya sedih banget, Raline nahan nangis sama malu sih pasti, dan gue gak nolong apa-apa, malah liatin dia deket pohon di belakangnya doang,”

“Awas lo semua kalo bilang gue yang ngomong!”

***

Raline sedang menunggu ratusan halaman KTI miliknya selesai difotokopi. Lama karena tebal. Seketika lamunannya membawa ia kembali ke sana lagi, masa lalu dengan berbagai macam perasaan. Namun, kali ini teringat bagian pahitnya. Paling pahit.

Waktu itu, sehari sebelum ujian nasional SMP, Raline memutuskan mengungkapkan perasaan, isi hatinya. Ia menghampiri Erlan dekat taman, sepulang sekolah.

“Kebetulan juga ada yang mau gue tanya, kenapa lo terus kasih gue puisi?” ternyata Erlan yang buka suara.

“Lo suka sama gue?” tanya Erlan lagi.

Tanpa banyak basa-basi Raline mengangguk.

“Iya, gue suka sama lo. Udah lama, dari sebelum puisi-puisi itu,” jawab Raline mantap.

“Oh, gitu? Oke deh, gue juga bakal punya perasaan yang lebih serius sama lo,”

Raline seketika punya perasaan senang yang dipompa cepat. “Beneran?”

Bisa dilihat dengan jelas oleh Erlan, mata gadis ini sangat berbinar waktu itu.

“Bercanda!”

Seketika dunianya runtuh, Raline berharap segera teleportasi ke Merkurius dan terbakar badai Matahari di sana.

“Gue tau dengan pasti apa yang gue suka dan yang nggak gue suka. Jadi, gue langsung aja ya, gue GAK suka sama lo, Ra,”

“Gue kira lo orang yang gak muluk-muluk, gak ngarep lebih dari temen,”

“Lo sama gue itu beda jauh. Kita gak ada kecocokan sama sekali,”

Kalimat-kalimat itu semakin menghancurkan apa yang sudah hancur.

“A-apa maksudnya? Kita cocok kok. Lo suka bilang gue keren karena gue suka puisi dan—” jawaban Raline masih selalu naif.

“Tch! Gue bilang keren karena gak tau mau ngomong apalagi. Gue sama sekali gak suka puisi. Semua puisi yang lo kasih itu pas gue baca rasanya malah cringe.

Sesak dan tolak, dua kata itu berpasangan sekarang. Raline tidak pernah benar-benar melupakan cinta dan patah pertamanya. Ketika semua runtuh yang terlihat sisanya cuma ketidakteraturan. Bukan tidak mungkin Raline masih mengingatnya. Semua mesti ditata ulang. Waktu bukan program komputer yang punya undo. Waktu adalah yang bergerak, pikiran adalah yang permanen. Satu-satunya yang Raline syukuri yaitu perasaan yang tidak absolut, ia dapat mengubah, bisa menghilangkan.

Flashback off.

Hidup harus terus berlanjut—dengan atau tanpa cinta pertama,

dengan atau tanpa orang yang berjalan seiring,

dengan atau tanpa orang yang mengantarmu pulang,

dengan atau tanpa orang yang selama ini kamu mau.

Lihat selengkapnya