Jatuh cinta kembali tidak pernah dalam artian akan berakhir sama dengan yang sebelumnya.
Satu bulan berlalu. Satu bulan juga sudah Raline habiskan untuk mengikuti terus kelas bimbingan tanpa absen. Satu bulan juga sepertinya masih belum memperbaiki hubungan Raline dan Erlan. Entah siapa belum memaafkan siapa, yang pasti diantara keduanya masih terlampau canggung, meski pun ada berkurang emosi.
Prediksi satu bulan ke depan, kelas ini akan selalu lengkap sebelas orang. Karena bulan depan ada ujian pertengahan semester. Ovha yang tidak hadir selama sebulan pun sudah ada kembali, kabarnya dengan membawa pulang medali perunggu untuk kejuaraan karate tingkat nasional.
Erlan juga terlihat lebih dewasa, sedikit-sedikit mau memasukan materi yang diajarkan ke dalam otaknya. Raline jadi kepikiran untuk tidak perlu menjadi akrab, tapi akan berbaik hati kepada Erlan mulai sekarang, sebagai teman lagi—seperti dengan yang lainnya.
“Wah, tumben udah di kelas jam segini,” sapa Raline hangat.
Erlan sudah terduduk di kursinya saat baru beberapa anak yang masuk kelas.
“Seperti kata lo, gue harus kerja keras mulai sekarang,” jawab Erlan datar.
“Pendewasaan lo cepet juga, dalam sebulan, fantastis!”
“Wah, wah, wah!” seru Gaza yang baru sampai di kelas tiba-tiba.
“Ada apa nih kalian berdua? Keliatannya akrab, baikan? Beneran?”
“Ya, kesalahpahaman udah lurus sekarang, kan?” ucap Raline lugas.
“Ayo kita rukun, Erlan Young,” katanya lagi, sambil mengulurkan tangan kanannya, meminta bersalaman di hadapan Gaza.
Erlan melirik ke tangan Raline yang terulur, wajah Erlan berubah seperti sedikit berpikir.
“Oke, setuju,” ujarnya, lalu menerima jabatan tangan Raline.
“Wah, wah, wah!” seru Gaza, mengecap-ngecap setelah menyaksikan kekaguman dua sekutu yang berdamai setelah terlibat peperangan.
“BERCANDA!” sahut Erlan kemudian, sambil menghentakan tangan Raline cukup keras.
Raline melotot ke arahnya, jebakan Erlan sudah 99 kuadrat menyebalkan.
“Sebaiknya lo gak berpikir kita temenan lagi hanya karena gue udah ngelurusin kesalahpahaman, saling gak kenal kayaknya lebih enak,”
“Gak ada akhlak lo, gue sumpahin bersin keluar semut!”
***
Ovha membereskan kolong meja yang penuh dengan cokelat seperti hari Valentine. Kira-kira ada enam belas buah, disertai sticky notes, kertas, amplop, dan semacamnya yang berisi ucapan selamat atas kejuaraan Karate tahun ini—sebagian besar pasti untuk cari perhatian, siapa tahu ada nama dan tulisan yang menyangkut di hati Ovha kemudian dihubungi, tapi Ovha tidak tertarik sama sekali. Nasib orang keren. Namun, ia mencari sesuatu. Masih mencari. Secarik kertas lusuh. Ia menyesal karena tidak menyimpannya dengan baik.
Ia meraba saku celananya. Ternyata ada di sana. Ovha merasa lega. Kertas notes berwarna cream berisi tulisan sedih, rapuh. Firasatnya memang kertas ini akan sampai kembali pada pemiliknya, sehingga ia yakin tidak akan pernah hilang. Sampai hari ini.
Pemiliknya tiba. Perempuan itu seperti biasa terlihat pulang lebih dulu dari kantin, sebelum teman-temannya. Dia senang kembali ke kelas meskipun jam istirahat tersisa cukup banyak. Dari awal kelas bimbingan ini dimulai, Ovha lebih sering menemukan gadis itu di perpustakaan, daripada berkumpul membicarakan gosip di koridor kelas. Belum pernah mengobrol dengannya cukup lama, mungkin bicara yang perlu pernah-pernah saja, tapi pastinya mereka sudah lupa.
“Ra, gue nemu ini gak sengaja, maaf lama balikinnya, kelupaan,”
“Oh, makasih. Gue aja udah lupa padahal sama kertas ini,”
Kertas itu emang sengaja ditinggalin, biar semua kesedihan gue juga tanggal di sana, pikir Raline sebenarnya.
“Gue minta maaf lagi,”
“Untuk?”
“Bikin lo balik inget sama sedihnya,”
“Eh? Sedih apaan, nggak kok, santai aja.”
“Tulisannya bagus, tapi rapuh,”
“Semoga pas bahagia, lo bisa nulis lebih bagus dari itu,” ujar Ovha lagi kemudian.
“Aduh, thanks banget ya, Vha. Kehormatan buat gue dipuji superstar kayak lo,”
“Malah muji balik,”
“Selamat buat juaranya.”
“Makasih,”
Ternyata tidak sedingin kelihatannya.
***
“Kelompok 1 buat mind mapping. Kelompok 2 buat berupa tabel. Dikumpulkan Senin, semuanya.” ujar Pak Danang.
Hari ini ada belajar kelompok, menganalisa konsep kemonotonan fungsi, mata pelajaran Matematika Wajib. Raline kebagian kelompok 1 dengan Gaza, Rana, Ovha, Galih, dan Pra. Sisanya ada di kelompok 2.
“Gue bagian perencanaan.” ujar Raline kepada anggota kelompoknya.
“Gue juga,” seru Ovha tiba-tiba.
“Gimana kalo gue dan Galih bagian persentasi, terus Pra sama Gaza yang nyusun laporan,” Rana menambahkan.
“Menurut gue, Gaza lebih cocok persentasi. Dia ngomongnya lantang. Galih kan orangnya terstruktur, jadi mendingan yang buat laporan,” kata Raline memberi pendapat.
“Menurut gue juga,” sahut Ovha.
Semuanya saling bertatapan menyadari Ovha begitu mudahnya setuju dalam diskusi sedari tadi.
“Sip. Udah gitu aja,” seru Gaza yang hanya menyimak.
***
“Ra, menurut lo, Ovha jadi aneh gak sih?” tanya Rana ketika sedang menikmati mie instan di kantin.
“Kok aneh, kenapa?”
“Dia tadi pas di kelompok gak ngasih pendapat gimana-gimana. Biasanya segala menurut dia, dan emang hasilnya selalu bagus, sih. Tapi, ini tadi pas lo ngeluarin pendapat dia ngikut aja, nurut gitu,”
“Ya, mungkin dia lagi bosen mimpin rapat kelompok,”
“Dia tuh robot gak punya bosen, robot yang gak mempan sama masukan orang lain juga, Ra,”
Rana memasang raut berpikir.
“Oh gue tau, gue rasa dia kayak gitu karena lo yang ngomong!!” ujar Rana macam-macam.
Berubah wajah Raline jadi serius.
“Sakit lo!”
“Dia suka kayaknya sama lo, Ra! Wah, wah, wah calon pacar superstar nih temen gue,” seru Rana kegirangan sendiri.