SATU SATURASI

nonetheless
Chapter #9

Putri Nirmala

Seorang Putri harus melepaskan dulu kutukan Sang Pangeran. Ada juga seorang Putri yang melewati dulu kekejaman ibu tiri. Ada Putri yang apelnya diracun. Bertemu cinta sejati apakah selamanya begitu? Tepatnya seorang Putri adalah yang paling banyak mengunyah pahit?

Hari sabtu yang tidak santai. Raline bersama anggota kelompoknya harus menyelesaikan mind mapping yang ditugaskan. Mereka berkumpul di sebuah café dekat rumah Gaza. Ovha sebagai anggota dalam kelompoknya membuat Raline malah bersemangat di hari yang seharusnya untuk tidur siang ini. Sebelum mengerjakan tugas, semuanya makan hidangan yang mereka pesan terlebih dahulu.

“Vha, bukannya ada latihan karate? Kalo gak bisa padahal cukup email bagian lo doang,” ujar Galih memberi pengertian.

“Ada, cuma gue milih izin aja, mau ikut kesini,” jawab Ovha lugas.

Raline dan Rana bertatapan, terutama Raline yang salah tingkah setelah membicarakan Ovha melakukan pendekatan semalam.

“Gue permisi ke toilet dulu, ya, Rana anter!”

Raline berjalan menuju toilet dengan Rana yang mengikutinya. Di depan cermin, Raline sibuk berdandan sedikit, Rana meminjamkan liptint untuk bibirnya yang terlihat pucat. Ia tidak mengira kalau Ovha akan ikut dalam proyek kelompok kali ini, karena kabarnya ia hanya sering mengerjakan bagian lebih kemudian dikirim melalui email.

“Jelas banget Ovha ke sini karena lo, Ra.”

Raline tersipu malu sambil terus membenahi rambutnya.

“Dia itu rela izin karate lho meskipun boleh via email, itu pasti karena setelah kencan semalem, paginya dia kangen sama lo, jadi dateng kesini!” kata Rana lagi berapi-api.

“Kejauhan lo, Na. Nggak gitu pasti,”

“Kalo gak gitu, lalu gimana? Buat apa lagi dia di sini?”

“Dasar Rana!”

“Mau gue pastiin sekarang kalo dia beneran suka sama lo?”

“Ngawur mulu, udah ah, yuk balik ke meja!”

***

"Ehm,"

“Ovha, kalo seandainya ada pengagum lo dari sekolah kita, bahkan dari kelas bimbingan, yang cantik, baik, pinter juga, pokoknya lo bakal suka. Lo mau gimana?” ujar Rana tiba-tiba setelah menyeruput minumannya.

Raline yang menyadari Rana tengah menjalankan aksinya itu berusaha pura-pura acuh.

“Gue gak tertarik.” Jawab Ovha lagi-lagi datar.

“Eh kenapa? Orang ini padahal udah bisa cukup akrab sama lo,”

“Gue cuma gak tertarik buat pacaran sama anak satu sekolahan, sebenernya sih gak tertarik pacaran aja.”

Raline kaget mendengar jawaban Ovha, terbersit rasa kecewa diam-diam.

“Ke-kenapa? Kalo kalian satu sekolahan bakalan lebih saling memahami, bakal ngurangin posesif—”

“Boleh gue minta tolong?” ucap Ovha memotong perkataan Rana.

“Tolong jangan bikin gue ngulangin ucapan gue.” katanya lagi.

Ovha sudah jelas mengatakan sejak awal bahwa tidak tertarik berpacaran, ia memang tipe orang yang tidak menyukai negosiasi keputusannya sendiri.

Rana kaget, dan semua yang ada disana lantas memandangi mereka. Ovha ternyata belum berubah, dia masih orang yang tidak menyukai pembahasan seperti itu, ternyata Rana masih keliru menilainya, begitu pun Raline.

“Gue kirim aja ke email siang ini jadinya,” Ovha bangkit dari tempat duduk, kemudian berlalu pergi meninggalkan café.

“Ke-kenapa dia? Kok bikin jarak setegas itu sama orang yang coba ngajak ngobrol?” seru Rana yang masih terkejut.

“Gue tau sih alesannya,” sahut Galih.

“Dulu dia pacaran waktu di SMP, sama temen sekelasnya. Sekitar satu tahunan kira-kira, lumayan lama. Pas sehari mau UN, ceweknya ketauan lagi dicium sama anak alumni yang katanya kekasih gelap gitu. Di depan mata si Ovha banget malah, di perpustakaan umum, pas dia lagi kebetulan nyari buku bareng sahabat gue yang nganterin dia,”

Setelah tugas kelompok selesai, Raline memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah.

“Na, gue harus beliin dulu belanjaan titipan ibu, lo pulang sendiri gak apa-apa, kan?”

“Gak mau gue anter?”

“Gak usah, Na.”

“Hati-hati ya, Ra.”

Rana merasa bersalah sudah berusaha meyakinkan Raline jika Ovha benar-benar menyukainya. Rana mengerti jika Raline tidak sebenarnya akan belanja, Rana mengerti kalau Raline butuh menenangkan diri.

***

Raline hanya jalan-jalan tidak tahu arah, ia cukup merasa aman karena sudah tahu kota ini. Pikirannya melayang ke ruas samudera lain, ingin menenggelamkan diri di sana. Rasanya kecewa begitu cepat menyusul setelah kebahagiaan muncul. Apa itu karena berharap? Ia merasa kalau semesta tidak pernah mengubah aturan yang satu itu.

Masa iya gue harus pindah sekolah dulu biar bisa pacaran sama Ovha?, batinnya.

Erlan terlihat membawa dua kantong plastik besar. Isinya seperti berbagai macam makanan ringan. Ia berjalan melewati Raline yang kebetulan melintas di sana, namun langkahnya terhenti, berubah menjadi niat untuk menyapa.

“Mau kemana lo?”

Raline pun berhenti berjalan setelah lamunannya buyar.

“Habis kerja kelompok, di café sana,” jawab Raline sambil menunjuk arah belakang, arah ke café tersebut.

“Lo sendiri?” Raline bertanya balik.

“Gue mau ke rumah Gaza, pengen pesta weekend aja. Makanya gue beli segini banyak.” jelas Erlan sambil mengangkat dua kantong plastik berisi cemilan tersebut.

“Boleh gue ikut kalian?”

“Apaan? Terang-terangan banget lo pengen maen bareng gue,”

Raline menarik nafas, hendak menjawab ucapan Erlan, namun Langkah Erlan mendekat, terlalu dekat untuk sekedar menatap wajahnya.

“Hei, Ra. Lo gak usah suka sama gue lagi.”

“Lupain. Gue gak jadi ikut.” jawab Raline sambil menatap Erlan tajam.

Raline melangkah pergi meninggalkan Erlan yang sama sekali tidak menukar baik suasana hatinya.

Lihat selengkapnya