Semua harus dipersingkat, baik kata-kata atau air mata.
“Na, lo ke kelas duluan aja. Gue harus ke fotokopi, ada yang perlu di print.” ujar Raline kepada sahabatnya setelah baru selesai upacara bendera.
Raline kelupaan print tugas rangkumannya untuk jam pelajaran pertama. Istirahat lima belas menit setelah upacara bendera menyelamatkan dirinya dari omelan guru killer bagi orang yang telat bukti fisik pekerjaan rumah.
Di tempat fotokopi kebetulan sekali ada Ovha, sosok yang mulai saat ini akan Raline hindari, sedang menunggu hasil salinan sertifikat kejuaraan. Raline berpura-pura tidak melihat karena sama sekali ia tidak punya topik obrolan. Bagaimana pun ia tidak mampu menyembunyikan wajah pucatnya yang terjadi karena melihat Ovha di sana.
“Hei, Ra.” Terdengar Ovha memanggil, lalu mendekatkan diri ke tempat Raline berdiri.
“Oh, hai. Ngapain?”
“Perbanyak sertifikat, disuruh guru BK,”
“Oh…” kemudian Raline tersenyum, canggung.
Ovha terlihat memainkan ponselnya, tidak punya topik pembicaraan atau malas mengobrol itu sulit dibedakan mengenai seorang Ovha. Raline yang masih canggung dengan keadaan antara keduanya cuma bisa memainkan tombol tutup-buka bolpoin—satu-satunya benda yang sedang ia bawa. Wajahnya semakin pucat saja jika dalam kekakuan.
“Ra, Ada sesuatu? Lo keliatan gak baik-baik aja,” ujar Ovha tiba-tiba.
“Ya? Oh…gak ada.”
Ovha hanya mengangguk dan tersenyum kecil, kemudian kembali pada ponselnya.
Dia pasti menderita banget karena mantannya itu. Kasian dia, batin Raline.
“Eh? Nggak. Siapa gue buat kasian ke Ovha? Gue gak boleh ada perasaan apa-apa lagi ke dia, gue harus bisa ngendaliin itu.OK? Oke. Apa akan susah buat ngelupainnya? Nggak akan, selama gue bisa jaga jarak.” batinnya tidak berhenti berdialog hingga Ovha pamit duluan pergi ke kelasnya.
***