Semua sesuatu termasuk rasa cinta adalah yang bergerak bersama waktu.
Kemarin adalah hari terakhir Ujian Tengah Semester. Seminggu berlalu terasa cepat. Sekolah hari ini tidak ada kegiatan belajar mengajar, lalu bagaimana dengan kelas bimbingan? Itu pengecualian, tetap ada kegiatan belajar mengajarnya nanti pukul tiga.
Suara bising riuh terdengar dari lapangan yang ada panggung pensi diisi oleh band alumni, stan makanan dan minuman, serta beberapa pertunjukan organisasi karena hari ini adalah hari jadi sekolah Raline yang ke-25.
Raline yang tidak pernah menyukai pensi sekolah sama sekali memilih pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan tumpukan buku yang ia pinjam, untuk kembali meminjam. Ketika melewati lapangan, Raline hanya geleng-geleng kepala melihat Rana yang sibuk mondar-mandir, kawannya itu memang selalu menjadi panitia repot.
Setelah terpogoh-pogoh membawa banyak buku itu akhirnya ia sampai di perpustakaan.
Brakkk!
Sial. Karena tumpukan tinggi buku yang menutupi hadapannya, ia sampai tidak melihat ada meja baru dekat pintu perpustakaan, Raline tersandung salah satu kaki meja tersebut.
Bukunya berserakan di mana-mana, kakinya terkilir, sikutnya berdarah, dan badannya sakit. Beruntung, tidak ada orang sama sekali di situ, serta penjaganya sedang di dalam gudang dekat rak pojokan, jauh dari pintu masuk. Raline beranjak perlahan lalu memunguti bukunya satu persatu.
“HAHAHA! Putri Nirmala gak ada yang jatoh begini,”
Tidak ada orang sama sekali ternyata salah, ada Erlan sedari tadi di sana. Raline merasa kesialannya menjadi seperti kue lapis. Ia adalah sasaran empuk kali ini untuk Erlan yang pandai mengejek dan membuatnya jengkel.
“Bantuin gue, cepetan!” perintah Raline tidak ada malu-malunya.
“Bersyukur lo berdarah. Kalo nggak, gak bakalan gue bantu, gak akan kasian guenya,” jawaban Erlan masih ada sisa ketawa, tapi benar-benar membantu Raline menyusun buku-buku kembali.
Raline mengepalkan tangannya mengancam akan memukul Erlan.
“Pukul aja, gue yakin rasanya gak akan mirip sama lo jatoh barusan. HAHAHA!”
Raline hanya membalas menatapnya jahil.
“Bagus deh gue ketemu lo di sini. Barusan gue liat di parkiran, mobil lo ada yang nyoret-nyoret pake pilox. Gawat, kan?!”
Mata Erlan membelalak, ia kaget setengah mati. Terbayang bagaimana wajah Nicky Young akan marah, lalu Ella akan menyita kartu kreditnya, dan terutama itu adalah mobil kesayangan Erlan. Ia menyimpan tumpukan buku ke meja terdekat, lalu segera berjalan cepat melewati Raline tanpa berkata apa-apa lagi.
Raline menatapnya dengan senyum sebelah, menahan gelitik yang sudah ada di perut untuk segera terbahak-bahak.
“HAHAHA!! Bercanda!” seru Raline ketika langkah Erlan baru sampai pintu keluar.
Raline tertawa terpingkal-pingkal melupakan nyeri di sikut. Akhirnya Raline bisa membalas segala keresean Erlan hari ini.
“Rese banget sih, lo!” sahut Erlan geram.
“Peace! Sekarang beneran nih, gue suka lagi sama lo, Lan. Cinta, sayang, semacamnya lah,”
Mata Erlan kembali membelalak, tidak menyangka ia menyatakannya sekarang. Udah tau kali dari seminggu lalu lo nangis-nangis di rumah Gaza, pikir Erlan.
“Terang-terangan banget lo jadi orang,” jawab Erlan gugup. Hei, Erlan! Kenapa juga lo harus gugup?!, batinnya.
Raline masih menatap Erlan puas.
“BERCANDA! HAHAHA. Seru juga ternyata,”
“Rese, lo! Tapi buat yang satu itu emang seharusnya lo bercanda.”
“Emang enak digituin? Lo keseringan gitu, sih, sama orang,”
“Gue lucu kayak gitu, lah, elo?”
“Gue emang gak lucu, tapi savage” ujar Raline masih ada sisa ketawa.
***
Ovha sedang berdiri di depan pintu kelasnya yang menghadap lapangan sekolah, terlihat jelas panggung pensi dan terdengar berisiknya. Namun, ia tidak merasakan apa-apa di telinganya selain lagu Don’t Look Back in Anger milik Oasis karena sudah di jejal dengan headset. Seketika ada perempuan dengan jalan pincang dan sikut berdarah melintas di hadapannya pelan. Setelah Raline berjalan satu meter lebih jauh, Ovha memutuskan untuk mengekori. Ovha terus mengikuti arah Raline hingga sampai ke kelasnya yang cuma ada sekitar tujuh orang di dalam.
Ketika Raline duduk di kursi ia segera menyadari Ovha yang ikut duduk di bangku sebelahnya. Raline bahkan tidak sadar sejak kapan Ovha mengikuti ia ke kelas. Tujuh orang yang ada di dalam sana terpusat kepada mereka berdua, khususnya melihat Ovha—superstar cuek sekolah ini.
“Lo cedera?”
“Oh…ini iya. Gara-gara bawa buku banyak banget ke perpus.”
“Kenapa gak sebagian dulu aja?”