Akan ada satu fase di mana ketakutan berubah ke dalam realitas. Tidak perlu menunggu seseorang menjadi paranoid, ia hanya menjelma tanpa menunggu persiapan,
serta kehilangan adalah topik yang masih paling tidak menyenangkan.
“Jadi, dia suka sama Ovha? Bener, sih, agak di luar jangkauan. Seleranya naik tingkat tuh anak,” ujar Gaza sambil meracik kuah baksonya dengan sambal.
“Iya, kalo buat di luar jangkauan. Nggak, buat selera yang naik tingkat.”
Erlan menghela nafas gusar.
“Kenapa lo? Nyesel Raline suka ke Ovha?”
“Iya, gue nyesel.”
“Lo suka sama dia?”
“Bercanda! Gue sama sekali gak nyesel.”
Gaza yang giliran menghela nafas jengkel.
“Bukan gue yang Raline suka, gue SANGAT bersyukur.” tegas Erlan penuh penekanan.
***
Sisa-sisa jam istirahat kelas bimbingan, hanya ada Raline, Gaza, dan Erlan di kelas, yang lain mungkin masih di kantin, perpustakaan, atau seberang gerbang.
Raline diam-diam menghampiri meja Ovha, ia menaruh sebotol minuman vitamin C dan sepucuk kertas.
Setumpuk jadwal lo sama pentingnya dengan minum vitamin. –Raline
Setelah meletakannya, ia menyadari permukaan meja itu berantakan. Raline berinisiatif merapikan sampai benar-benar terlihat enak dipandang.
“Wah, dia rajin banget beresin mejanya Ovha,” bisik Gaza kepada siapa lagi kalau bukan Erlan.
“Kayak dongeng Keong Mas, ceweknya rajin bersih-bersih rumah pas cowoknya gak ada.” bisik Gaza lagi.
“Gue rasa gue pernah,” sahut Erlan.
Dulu, ketika Raline menyukai Erlan di SMP, juga melakukan hal serupa. Ia rajin ke parkiran sebelum Erlan pulang sekolah untuk mengelap mobilnya, bahkan sambil membawa ember yang dipinjam dari toilet kantin. Ketika Erlan ke parkiran, Raline pasti segera berlari menghentikan kegiatannya.
“Ah, iya gue inget. Dia kayaknya emang bersikap jadi Keong Mas tiap naksir orang,” ujar Gaza.
“Lo tau, gue sangat terbebani pas masa-masa dia bersikap kayak gitu. Makanya, gue BERSYUKUR kalo gue udah bukan orang yang dia suka, beneran. Gue lega dia gak jadi Keong Mas gue lagi.” lagi-lagi Erlan membahasnya penuh penegasan.
***
Ovha Mesin : Thanks, buat vitamin itu. Pulang kelas makan sushi, yuk?
Raline
Ayo.
Raline yang kegirangan bukan main segera teringat jika ia punya janji mengantar Rana membeli sabun pembersih wajah. Ia segera pergi ke koridor menghampiri Rana yang mengobrol di sana dengan Erlan dan Gaza.
“Na, sori nih, beli sabunnya besok aja, ya?”
“Jangan bilang kalo lo lagi sedih terus pengen cepet pulang?” curiga Rana.
“Nggak kok, Na. Kebetulan aja Ovha tiba-tiba ajak gue makan sushi,”
“Demi hujan abon sapi? Serius? Ngedate? Oke, kalo buat kencan bareng superstar gue izinkan.”
Erlan dan Gaza yang sedari tadi menyimak percakapan dua perempuan kasat mata itu hanya bisa saling bertatapan. Terutama Erlan yang merasa geli dengan bagaimana Raline mengorbankan janji kepada kawannya sendiri.
“Gue ke toilet dulu,” seru Erlan entah kepada siapa. Gaza cuma mengekorinya dari belakang.
Erlan membuka keran air dan membasahi tangannya asal. Sedangkan Gaza tengah sibuk memastikan logo Gucci pada jaketnya masih melekat kuat.
“Dia sampe batalin janji ke Rana buat makan sushi sama tuh cowok, terang-terangan banget emang anaknya,” sahut Erlan tiba-tiba dengan wajah yang dibuat sedatar mungkin.
“Iya, ya? Cintanya Raline yang sekarang udah di tingkat yang beda,” Jawab Gaza acuh tak acuh karena masih memperhatikan logo Gucci itu.
“Bentar, gue kayaknya pernah deh liat cinta itu sebelumnya,” ekspresi Erlan berubah mengingat sesuatu.
“Oh, bener, bener. Gue juga inget, waktu lo dulu ngajakin Raline dan gue minum kopi bareng, kan?”
“Iya, itu. Dia minta izin ke guru lesnya terang-terangan buat minum kopi sama gue. Lebih parah sih,”
“Tunggu, keliatannya lo inget semua yang dilakuin Raline ke elo. Jujur ke gue, dulu lo tertarik sama dia, Lan?”
“Aih,”
Erlan membenarkan posisi berdirinya yang bersandar ke tembok wastafel.
“Oke, gue akhirnya akan kasih tau kebenaran, dulu gue emang tertarik ke Raline,”
“Pasti, “Bercanda!”” cibir Gaza malas.
“Itu tau, pake nanya segala!!”
“Tuh, kan,”