Coba garis waktunya diubah.
Mengikhlaskan ada di depan, lalu menerima jadi belakangan. Rasanya akan lebih mudah.
Hari Senin. Hari Senin yang entah ke berapa ribu dalam hidup Erlan. Tiga hari berlalu setelah kejadian tak terlupakan itu. Tiga hari berlalu setelah dirinya merasakan pendewasaan di hadapan orang bersedih. Kemudian hanyalah hari-hari yang akan berlalu dengan semua ketulusan untuk coba Erlan tekuni ke depannya.
Ponsel Erlan berdering, layarnya menampilkan panggilan dari Sang Mama.
“Halo, Ma?”
“Mama dan papa udah di villa duluan, nanti malem kamu nyusul sini aja naik mobil,”
“Villa? Emangnya ada acara apaan?”
“Oh, papa belum ngasih tau kamu?”
“Belum,”
“Malam ini kan ada perayaan, sayang.”
“Perayaan apa?”
“Aduh, kamu ini, pokoknya nanti malam sudah di sini jam tujuh, ya?”
“Iya, Ma.”
Erlan menutup teleponnya, ia bingung dengan adanya perayaan malam nanti.
“Za, nyokap gue bilang ada acara perayaan malem ini, apaan, ya?” tanya Erlan kepada Gaza yang sibuk makan kentang goreng di sebelahnya.
“Coba lo inget-inget, mungkin ada sodara lo yang ulang tahun,”
Erlan membuka kalendar di ponsel, di situ tertulis “My Birthday”. Ia melupakan tanggal lahirnya sendiri, segala urusan dalam dunianya kemarin-kemarin terlampau penting sampai bisa melupakan hal penting lain. Ternyata nanti malam keluarganya akan melakukan perayaan untuk itu.
“Saking sibuknya ngurusin Raline, gue sampe lupa sama ultah gue sendiri,”
“Lo manusia apa bukan? Bisa-bisanya lupa hari ulang taun,” racau Gaza.
“Lo temen gue apa bukan? Bisa-bisanya gak inget hari ini,”
“Selamat, bro! Hope you feel better this year. Keluarga lo mau rayain dimana?”
***
Hari Senin. Hari-hari yang akan berlalu tanpa seorang Ibu. Hari-hari baru dari seminggu yang lalu. Raline menutup semua rasa pahit dan sakit mulai Jumat kemarin, ketika ia kembali sekolah. Meski pun begitu, kehilangan tak akan pernah jadi topik yang menyenangkan.
“Na, pinjem duit lo dulu, ya? Malem ini gue mau ke rumah pakde, bude, mau cerita yang lengkap soal kejadian ibu, mereka kan gak punya ponsel jadi belum bisa gue kasih tau, gue malu kalo dateng gak bawa apa-apa,” ujar Raline saat menunggu kelas bimbingan dimulai.
“Oke, rumah bude lo yang di puncak Bogor itu?”
“Iya, gue pinjem 300 ribu aja, Na.”
“Terus, ke Bogor naik apa?”
“Gue ada kok buat rental mobil plus sopirnya, jam sebelas juga gue balik, jadi gak akan terlalu mahal,”
“Oke deh, hati-hati ya nanti,” kata Rana sambil mencari-cari dompetnya di dalam tas.
“Gue balikin tiga hari lagi kok, nunggu uang pensiun ayah di bank,”
“Santai aja. Harusnya sisain uang lo paling kecil 300 ribu, Ra, dalam sebulan. Buat dana darurat.”
Rana sibuk mengeluarkan semua uang yang ada di dalam dompetnya.
“Yah, Ra… Liat cuma nyisa 20 ribu, gue baru inget kalo kemaren abis beli lotion,”
Raline menelan salivanya, menatap Rana ngeri.
“Lo pasti mikir “Lo nyuruh gue nyisihin paling kecil 300 ribu saat bahkan lo sendiri gak punya.” iya, kan?”
Rana mulai dengan sifatnya yang sering agak membuat jengkel.
“Apa? Nggak kok,”
“Iya, emang gak boleh gitu, Ra, gue itu abis beli lotion, dan itu adalah hal essential.”
Seperti biasa, Raline hanya akan membalasnya dengan senyum, bahkan senyum paling hangat.
“Gimana dong buat ke bude lo?”
Rana menghela nafas ikut prihatin dengan keadaan moneyless mereka berdua.
Tidak lama Ovha masuk ke dalam kelas bimbingan, akhirnya Raline melihat orang itu setelah sekian hari tidak jumpa. Hari Jumat lalu, Ovha tidak masuk sekolah karena ada acara wisuda kakaknya, maka Raline belum menemui alien kejutan itu.
“Oh, kebetulan banget. Ovha!!” seru Rana tiba-tiba, membuat Ovha menghampiri mereka berdua.
“Vha, tolong pinjemin Raline uang 300 ribu dong, plis.”
“Nggak, Na, nggak—” Raline berusaha menghentikan Rana.
“Kenapa nggak? Lo kan mau ke bude, pakde, masa gak bawa apa-apa?”
“Iya, tapi—”
“Udah ya, gue ke kantin dulu, haus. Bye, Ra, tar gue beliin minum!”
Rana kemudian menghilang dari pandangan Ovha dan Raline dengan cepat. Rana benar-benar membuat Raline terjebak dalam suasana yang memalukan, meminjam uang.
Ovha membuka dompetnya dan mengeluarkan uang tiga lembar seratus ribuan. Raline bahkan belum bicara dengannya atau pun menyelesaikan masalah beberapa waktu lalu, tapi ia tidak punya pilihan lain selain menerima uang tersebut.
“Maafin gue, tadinya pinjem ke Rana tapi dia lagi gak punya uang,”
“Boleh gue minta tolong? Tolong, jangan ngebangun jarak. Lo langsung aja minta bantuan gue, gak usah nunggu Rana. Rumah pakde lo dimana?” lontar Ovha dengan serius.
“Di puncak Bogor,”
“Hati-hati selama perjalanan nanti,”
“Makasih, Vha. Maafin gue soal—”
“Maaf lo gak diterima,”
“At least it’s clear,”
“Karena lo gak perlu minta maaf.”
***
Sepulang kelas bimbingan, Erlan menawari tumpangan kepada Rana, Raline, dan Gaza. Mungkin karena ini hari ulang tahunnya, jadi ia berbaik hati mengantar beberapa teman untuk sampai ke rumah.
“Tumben nih ngajak pulang bareng, biasanya segitu ada tiga jok kosong dia tetep pulang sendirian,” Rana menceletuk di tengah perjalanan.
“Sekali lagi nyeletuk, lo gua turunin di depan,” ancam Erlan.
“Dia kan lagi ulang taun, Na,” ujar Gaza.
“Oh, ya?” seru Raline dan Rana bersamaan.
“Wih, anak orang kaya nih pasti malemnya pesta-pesta, undang dong!”
“Dia mah ngerayainnya di villa keluarga bareng bokap, nyokap, malem ini jam tujuh,” sahut Gaza.
“Pasti seru,” kata Raline.
“Ya, iya, lo mana tau rasanya dimasakin koki dari hotel bintang lima khusus buat ulang taun gue,” sombong Erlan.
Memang keluarganya selalu mengundang jasa koki dari hotel bintang lima seperti ulang tahun yang sebelum-sebelumnya.
Raline membuang muka, mendengus malas mendengar Erlan pamer.
“Jamuan gitu, ya? Asik tuh,” seru Rana.