Aku menyukainya. Aku bahkan menyukai sidik jari yang ditinggalkan pada semua benda yang pernah dia sentuh, meski tidak dapat aku lihat. Artinya bahwa tidak ada orang yang punya sidik jari sama, maka aku hanya akan menyukainya saja.
“Lo berdua bisa bantuin gue? Gue butuh satu model buat objek, tambah satu orang buat ngerekam,”
Kelas bimbingan akan mulai lima belas menit lagi. Entah angin apa yang menerpa satu makhluk antisosial dari sekolah ini, ia tiba-tiba menghampiri Gaza dan Erlan yang sedang berkumpul, kemudian meminta dua laki-laki itu untuk membantunya. Ovha yang terkenal belum pernah bergantung pada siapapun seketika meminta tolong pada orang yang tidak yakin dapat diandalkan. Jangankan bergantung, untuk berkomunikasi saja Ovha itu selektif habis. Raline yang sedang duduk di antara mereka sama herannya dengan Erlan juga Gaza.
“Ngerekam apa emangnya?” tanya Gaza yang masih terlihat tidak percaya kalau Ovha baru saja mengajaknya bicara.
“Video metode belajar bersama yang baik, khususnya buat cara belajar dua orang. Satu orang akan jadi model belajar bareng gue, itu nantinya buat persentasi di pendopo Bupati bulan depan, kalian berdua bisa?”
“Tentu, kita bakal bantuin lo. Tapi, kapan mulai rekamannya?” Gaza bersemangat, ia membayangkan dirinya akan ditonton oleh seorang Bupati.
Erlan hanya menyimak percakapan itu, ia sedikit kesal karena Gaza menyetujui begitu saja, masalahnya Erlan tidak minat untuk ikut serta.
“Sabtu ini,” Ovha menjawab pertanyaan barusan.
“Yah, kok sabtu, sih, gue ada nikahan sepupu,” keluh Gaza.
“Kalo gitu, gue aja yang ikut, gue pengen bantuin juga,” seru Raline tiba-tiba.
“Oh, boleh. Temen gue bilang kelas lo lagi banyak PR, makanya gak gue ajak,”
“Gue udah beres semua, Vha. Santai aja,”
Raline bersyukur karena kebiasaan rajinnya mengerjakan PR kali ini berguna juga.
“Oke deh, lo gak keberatan buat ikut juga, kan?” Ovha memastikan Erlan yang sedari tadi diam saja.
“Ah, itu… gue—”
“Gak keberatan kok. Serahin ke kita berdua,” Raline segera memotong bicara Erlan, ia sudah firasat jika Erlan pasti malas ikut hal-hal edukatif seperti itu.
Ovha mengangguk, kemudian berlalu menuju kursinya. Sedangkan Erlan mendengus kesal, ia menatap Raline seperti ingin menerkam.
***
Raline pergi ke kantin berdua dengan Erlan pada jam istirahat bimbingan, kawan Raline yang merupakan pengurus OSIS sedang dispensasi selama istirahat, lalu satunya lagi kawan Erlan yang sama-sama pengurus OSIS pun begitu.
“Soal ajakan Ovha tadi, emang lo siapa bisa-bisanya mutusin gue keberatan atau nggak? Gue mau bilang ke dia sekarang kalo gue gak bisa,” ujar Erlan sambil mengaduk es tehnya.
“Ayolah bantu dia, bayangin gimana perasaannya kalo lo nolak, Lan. Setuju, kan?” sanggah Raline seraya menyambar es teh yang hendak Erlan minum.
Raline berhasil pergi sebelum Erlan menjawab atau mendebati, tak lupa mendapat es teh gratis siap minum hasil bajakannya dari tangan cowok kaya itu.
***
“Besok kita akan kedatangan siswa pertukaran pelajar di kelas ini. Hanya satu hari, dia rekan proyek penelitian Ovha dari Singapura. Bapak mohon kepada kalian semua untuk bersikap kondusif selama kita kedatangan tamu dari sekolah lain, tunjukan jika anak-anak di sini juga aktif dan berprestasi. Juga bapak ucapkan terima kasih dan selamat kepada Ovha atas keberhasilan karya ilmiah yang bekerja sama dengan pelajar asing,”
Semua murid memberikan tepuk tangan untuk Ovha setelah mendengar pengumuman Pak Danang. Terutama Raline, ia bertepuk tangan paling meriah, sehingga Erlan yang memperhatikannya merasa geli sendiri.
“Dia udah juara karate, duta sekolah, sekarang satu proyek sama orang Singapura, superstar emang,” kagum Rana yang dijawab dengan anggukan mantap dari Raline.
“Emang, mengagumkan!” lontar supporter dadakan paling heboh di sebelah Rana.
Erlan mendengarnya, ia menghela nafas risih. Norak, batinnya.
***
Raline dan Erlan sudah terlihat seperti kakak-adik dari jauh, seperti saudara kandung yang saling menjaga, mereka terlihat begitu kompak tiap kali jalan beriringan semenjak keduanya berbaikan. Namun, yang kelihatan bukan kenyataan. Meski pun keduanya sudah tidak saling asing, mereka tetap saling mengejek, mencela, meragukan, berdebat, atau pun saling tidak mempedulikan satu sama lain. Tapi juga bukan mustahil mereka berkawan, menenangkan, membantu (kadang-kadang) dalam waktu bersamaan. Timeline dua manusia itu memang penuh absurditas akhir-akhir ini.
Usai sekolah sekarang Erlan mengajak Raline pulang bersama yang sudah pasti tidak akan Raline tolak, Raline tidak punya waktu untuk jual mahal atau gengsi-gengsian dengan Erlan lagi, juga apa ruginya bertindak konyol dan nyerobot depan Erlan.
“Lo segitu sukanya sama Ovha? Di kelas tadi geli banget, heboh bener tingkah lo ngedenger Ovha dipuji guru,” celetuk Erlan sambil terus menyetir.
Seperti biasa Raline akan mengangguk mantap. Perasaannya kepada Ovha sulit hilang meski pernah beberapa kali coba dilenyapkan.
“Gue belum pernah suka sama orang sedalem ini,” ujar Raline malu-malu tanpa melihat Erlan.
Erlan tertawa picik.
“Omong kosong. Heh, waktu lo suka gue dulu, lo juga bilang hal yang sama,”
“Gue belum pernah suka sama orang sedalem ini,” Erlan menirukan persis dengan gaya bicara Raline. “Lo inget gak pernah ngomong gitu dulu? Sambil malu-malu demen, persis sekarang,”
“Dulu itu salah sasaran!!” teriak Raline sebal.
“Kalo dipikir-pikir lagi, lo pake kata kata yang sama plus taktik yang sama juga kayak setahun lalu. Lo itu residivis cinta,” ejek Erlan.
“Lo bener-bener, ya, Lan!!” desis Raline. “Eh, bodoamat deh, asal lo jangan bilang gitu depan Ovha,”
“Apa?” Erlan merasa ia salah dengar.
“Gimana kalo Ovha nganggap gue tuh cewek yang gampangan jatuh cinta?”
Erlan menghela napasnya, tidak percaya Raline akan begitu menjaga image depan seorang Ovha.
“Hei, siapa peduli kalo dia mikir lo gitu? Emang bakalan ada yang berubah? Kemungkinan lo sama dia tuh 0%, Ra. Nol persen,”
“Nol? Gimana bisa lo seyakin itu?” gemas Raline.
“Udah jelas. Lo itu gak ada pesona sama sekali di mata cowok, liat sendiri, kan? Lo itu gak pernah pacaran sama siapa-siapa setelah suka gue setahun lalu,”
Raline melotot ke arah Erlan, bisa-bisanya laki-laki itu membicarakan ia secara gamblang dan terang-terangan.
“Lo itu kuno, Ra. Ngebosenin karena selalu bersikap serius, apalagi soal cinta, kolot kalo buat jaman sekarang. Kolot.” Ujar Erlan penuh penekanan.
“Lo bilang apa barusan?!” geram Raline.
“Pokoknya lo itu bukan tipe cowok-cowok, jadi jangan ngarep ketinggian, Raline Residivis Cinta. Titik,”
Manusia ini seperti raja mengumpat dari Andromeda yang entah ke berapa. “Beruntung lo lagi nganterin gue pulang. Kalo nggak, udah gue sumpahin lo nabrak pohon sekarang juga!”
Erlan terkekeh. “Siap-siap aja, lo…bakal ditolak Ovha persis seperti di masa lalu,”
Bisa-bisanya gue pernah dicium cowok yang mulutnya lebih pedes dari sambel ayam geprek kayak dia, pikir Raline sambil terus menahan sabar.
***
Keesokan hari. Seperti yang sudah diberitahukan, kelas bimbingan ini kedatangan seorang pelajar asing dari Singapura. Ia disambut hangat oleh seluruh yang ada di kelas itu. Kursinya ada paling belakang bersama Ovha. Namanya Sydney. Benar, mengejanya sama persis dengan kota yang ada di Australia. Ia terlihat begitu akrab dengan Ovha yang sangat lancar berbahasa Inggris, mungkin pemikiran mereka nyambung dan sama-sama sejalan.
Raline terus-menerus memancarkan lekuk sabit di wajahnya ketika makan batagor kantin yang tidak enak. Pasalnya sekarang ia berada satu meja dengan Ovha.
Meskipun gak berdua sih, batin Raline.
Ovha mentraktir Raline, Rana, Gaza, dan Erlan makan di kantin, katanya selamatan untuk keberhasilan proyek ilmiah. Semua senang mendapat kesempatan ini, jangan tanya Raline, ia pasti berdiri paling depan soal rasa gembira tersebut.
“Sydney dimana?” tanya Rana penasaran.
“Aussie,” Erlan menjawabnya asal.