"Selamat tinggal" itu sebaiknya ada meski tidak disertai "Sampai jumpa lagi".
Mulai pagi ini tepatnya keesokan hari setelah tanggal dengan dua headline sekaligus (Pernyataan dan Penolakan), Raline masih belum tahu sikap seperti apa yang harus diambil. Ia tidak tahu mana dulu yang harus disembunyikan ketika berpapasan dengan Ovha di sekolah, sapa atau mata.
Raline tidak peduli harinya akan berjalan baik atau tidak, tapi ia mau hari-hari Ovha harus terus bagus. Kalau pun dengan tidak saling berbincang lagi akan membuat segala sesuatunya lebih nyaman, maka biarkan saja seperti itu. Ovha mungkin bukan kisah yang berakhir bahagia, namun apa yang dipelajari darinya terhitung banyak hal.
Jika dulu Raline ingin selalu menghapus Erlan setelah ditolak, bahkan pernah berharap Erlan ditelan Neptunus dan jadi Raja di sana untuk tidak pernah kembali, kali ini justru yang Raline mau adalah terus memperhatikan Ovha, meski harus dari sudut yang tidak kelihatan, meski jika dekat justru harus menghindari kontak mata.
Setelah istirahat di kantin, Raline melewati kelas Ovha bersama Rana. Namun, ia tidak melihat daun telinganya sedikitpun.
Usai dari toilet, Raline mengintip ke arah sanggar Karate. Ia kembali tidak melihat Ovha di sana.
***
Jam tiga sore, kelas bimbingan.
“Amerika?!”
Raline tidak pernah sekaget sekarang selama ia bersekolah di sini. Galih bercerita tentang Ovha yang diterima United World College (UWC). Sebuah program sekolah menengah di Amerika Serikat untuk menampung pelajar terkualifikasi dari seluruh penjuru dunia.
“Flight dia udah dari pagi,”
Galih mendapat info dari temannya yang juga kawan Ovha sejak SMP. Raline hancur atas segala macam perasaan yang terasa biru. Bukan cuma bersedih, air mata yang tidak keluar membuat dadanya makin sesak dari sekedar menangis.
Anak-anak yang lain meracau karena tidak jadi satu almamater dengan Ovha, superstar sekolah. Anak tampan tidak haus pujian, pintar dan karismatik di mata perempuan, serta kalau secara gurau banyak yang percaya Ovha itu aset berharga pendidikan Indonesia.