SATU SATURASI

nonetheless
Chapter #21

Penuh Rasa, Ovha Pradikta

Mungkin ini baiknya meski pun dengan cara yang tidak baik.



Raline enggan mengganti dulu baju seragam. Begitu tiba di rumah ia segera membuka amplop surat itu, buru-buru seperti takut ketinggalan bus. Di sana terpamer tulisan tangan yang kalau dalam lukisan mungkin lebih ke abstrak. Tidak rapi, namun indah. Kalimat pertama adalah;

Raline Araposa, ganti pakaian dulu. Aku mengerti kamu tidak sabar.

Tentu saja kaget. Bagaimana bisa Ovha memahaminya dengan tepat. Pemilihan waktu untuk ia memberi Raline surat ini berhasil.

Setelah ganti baju, Raline duduk di kursi malas ruang tamunya. Ia sudah kembali rileks untuk lanjut membaca. Ada sedikit yang janggal, dalam surat terlihat kata “kamu”. Raline bingung kenapa Ovha tiba-tiba pakai itu.

Sudah? Bagus.

Aneh, ya? Sengaja pakai “kamu” karena “gue” dan “lo” tidak terlalu bagus, khususnya untuk aku yang tidak se-asing itu mengenal seorang Raline Araposa.

Aku harap kamu tidak lupa berpamitan dengan Sydney yang akan pulang ke Singapura seminggu lagi. Iya, jangan seperti aku.

Sekedar informasi, sekarang aku punya akta kelahiran baru sekaligus punya nama belakang. Ovha Pradikta. Sudah aku pastikan kamu orang ketiga yang tahu. Yang kedua itu kakak dan yang pertama tentu Ayah, karena dia yang suruh. Nama Ayahku Hans Pradikta.

Raline, kamu ingat kemarin? Ketika kamu menyatakan perasaan, aku kaget dan bingung. Kaget karena kamu tidak seharusnya melakukan itu. Bingung sebab aku tidak tahu harus menjelaskan semua yang terjadi mulai dari mana. Jangan khawatir. Selain aku yang baik-baik saja, juga aku akan menjelaskan beberapa detailnya di sini. Semua cerita yang mendasar ada pada buku catatan yang aku titipkan juga, bahkan lebih lengkap. Kamu mungkin akan menemukan beberapa jawaban yang lebih lain.

Waktu aku menulis ini adalah pukul setengah dua belas malam. Habis makan rambutan dan nonton film 500 Days of Summer.

Raline Araposa, kamu mengira kita pertama kali saling mengenal dari kelas bimbingan beasiswa. Benar? Salah. Kita pertama kali berkenalan ketika Masa Orientasi Siswa.

Dulu kamu sedang mengantar kawanmu berdesak-desakan mengambil brosur OSIS di Akmal, kamu tahulah ketua OSIS populer itu. Banyak yang mengantre ikut seleksi organisasi sebab dia. Semua siswi terlihat begitu antusias, memang normal untuk menyukai Akmal, berarti mereka punya selera yang cukup baik. Awalnya, aku pikir kamu ikut antre untuk brosur juga. Ternyata tidak lama kamu berjalan menjauhi keramaian. Berdiri tepat di depan majalah dinding, melihat karya-karya yang sudah lama tidak diganti.

Kenapa aku bisa tahu?

Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan beberapa senior OSIS laki-laki, mereka bilang ada siswi cantik angkatan ini, tapi jutek katanya, dan pintar. Aku tidak penasaran atau mau tahu apa yang mereka perbincangkan. Aku mendengar sebatas karena punya telinga. Ketika kamu berlalu lewat, mereka menunjuk ke arahmu. Aku jadi tahu kalau yang mereka terus bicarakan adalah gadis yang lewat itu. Ternyata bukan gosip, memang cantik.

Kamu ingat laki-laki yang mengenalkan dirinya Tom Hansen? Itu aku, Ra. Tom Hansen sebenarnya tokoh film yang barusan kutonton ulang, 500 Days of Summer.

Kamu yang berdiri di depan mading membuat aku penasaran. Seindah kamu mungkin tidak perlu berdesak-desakan terlalu parah untuk mengambil brosur di Akmal. Tapi, kamu memilih sendirian membaca puisi usang. Aku simpan dulu earphoneku dalam saku, lalu mulai berjalan ke sampingmu.

“IPA?” kataku.

“Ya.”

Ternyata benar, memang jutek.

“Berarti sama. Nama gue—”

Lihat selengkapnya