Setahun berlalu dan akhirnya lolos masa SMA. Punya ijazah. Bisa reuni. Kemudian waktu bergerak lagi melamban menuju setahun berikutnya. Tahun sekarang. Jam menunjuk pukul 15.00 WIB. Janji bertemu Raline di Bandung adalah pukul tujuh malam ini. Ia buru-buru menyeret kopernya menuju taksi yang sudah menunggu. Selanjutnya adalah pulang ke rumah, mandi, packing seadanya untuk dibawa ke Bandung, dan berangkat. Untungnya lalu lintas sedang ramai lancar. Tidak macet keterlaluan.
Raline menyuruhnya untuk bertemu di Jalan Braga. Ketika sampai di sana, gadis itu telah menunggu mengenakan dress putih selutut, serasi dengan cantiknya yang kontras. Baju itu masih jelas teringat. Pernah Raline kenakan dua tahun yang lalu, ketika Erlan berbohong soal penampilan yang terlalu heboh, padahal faktanya adalah begitu sederhana dan bagus.
Ketika turun dari mobil, segera Raline memeluknya erat. Air mata yang menitik di bahu terasa hangat. Sudah lama sekali, Raline masih dirinya yang gampang menangis. Bedanya sekarang adalah berumur sembilan belas menuju dua puluh. Bukan lagi anak remaja manja dalam fase pubertas. Sudah jadi mahasiswa ITB.
“Gimana pathway pre-access? Seru?”
“Nggak. Seruan pas SMP dulu,”
“Lah, kenapa?”
“Waktu itu ada yang nyuciin mobil, bikinin makan, bantuin ngisi soal, ngasih pui—”
“Erlan!!” gemas Raline.
“Mau aku show off sebagian yang dipelajari dari Amerika?”
“Coba,”
“Lancar bahasa Inggris,”
“Mana?”
“I have no idea what I’m doing in my life but I do know that I put 100 percent to the things that I love and if I’m with you, then I probably really love you. I’m not the best with words but let me show you instead. Pacaran yuk, Ra?”