Saturday Class

Impy Island
Chapter #3

Lima Serangkai Terburuk

Sepuluh menit berlalu terasa seperti berjam-jam. Arial kembali asyik menepuk-nepuk meja seperti kendang. Sementara Eddy melirik sangsi ke kiri dan kanan. Pemuda itu pikir sudah mengetahui wajah seluruh penghuni sekolah. Kalau mengingat jabatannya sebagai kapten Football sekaligus wakil Komite Siswa, seharusnya itu hal yang masuk akal. Nyatanya, empat orang di ruangan ini benar-benar berwajah asing.

“Um ... baiklah, karena Mr. Oliver ingin kita saling kenal, kenapa tidak melakukannya, benar ‘kan? Hitung-hitung menambah teman. Namaku David, Mr. Oliver sudah menyebutkannya tadi ....”

“Mau-maunya kau diperintah si Tua Bangka itu. Memang kau ini budaknya?” ketus Arial. Kakinya berselonjor ke atas meja.

“Bukan begitu ... menurutku tidak ada salahnya kita saling mengenal. Jujur saja, dua tahun sekolah di sini aku tidak pernah melihat wajah kalian sekali pun. Kalian ini makhluk-makhluk dari planet mana?” David terkekeh. Namun, ketiga wajah di sekelilingnya sedatar papan, jadi ia segera tutup mulut.

“Aku juga tidak tertarik bertemu orang-orang seperti kalian.” Gadis modis di bangku paling depan bergumam rendah, tapi masih terdengar jelas di telinga semua orang lantaran kelas yang terlampau kecil.

Akibat kalimat itu, Arial langsung menoleh tak suka. “Oh, masa, Tuan Putri? Memangnya ada apa dengan kami? Hidungmu ingusan karena menghirup oksigen yang sama dengan kami?”

“Bahkan lebih parah, kulitku gatal-gatal dan lidahku sariawan!” sembur gadis itu, tak mau kalah.

“Kabar gembira untukmu, Yang Mulia. Kalau kau bisa ada di kelas terkutuk ini, itu artinya kelakuanmu sama busuknya denganku!”

Malas menangggapi lebih jauh, gadis itu melengos. Sementara Arial mendengkus penuh kemenangan.

Selanjutnya Eddy mengangkat tangan, meminta perhatian. “Bukan bermaksud sombong, tapi ... masa kalian tidak mengenalku sama sekali? Aku ini bisa di bilang ratu sekolah versi laki-laki.”

“Mungkin maksudmu Raja?” koreksi David.

“Apa pun namanya! Wajahku terpampang di brosur penerimaan siswa-siswi baru. Bahkan di spanduk raksasa untuk akreditasi. Beberapa kali jadi sampul majalah sekolah, juga papan populer. Kalian pasti bergurau kalau bilang tidak mengenalku!”

“Terus kenapa?” Arial berseru keras saking geramnya dengan nada bicara angkuh dari pemuda atletis itu. “Mungkin kau Raja sekolah, mungkin si Cherry di bangku depan itu Ratumu, mungkin si Kerempeng ini atlet catur. Tapi demi Tuhan! Kenapa aku harus peduli? Sialan, aku mau pulang!”

Pemuda itu mengacak rambut. Tangan kanannya merogoh saku, dan mengeluarkan sebatang rokok, lantas menyalakannya tanpa ragu. Asap mulai membumbung dari mulutnya seperti lokomotif uap. Jari telunjuknya mengetuk ujung rokok beberapa kali sampai abu halus jatuh ke lantai marmer.

Lihat selengkapnya