Arial mengalihkan tatapan kepada pemuda atletis itu dengan alis terangkat sebelah dan senyum tipis di ujung bibir, seolah berkata, 'kau bercanda, atau memang bodoh?'. Sejujurnya pertanyaan itu memang pantas dilontarkan secara lantang, lantaran Eddy benar-benar keheranan. Si Berandal mengangkat rokok di jemari, lalu menunjukkan pakaiannya yang urakan, mengangkat lengan baju lebih tinggi sehingga menampilkan tato bergambar tengkorak tepat di lengan atas, dan tidak lupa tindik telinga hitam kebanggaannya.
“Sepertinya kita semua tahu, atau setidaknya bisa menebak kenapa aku ada di sini,” jawabnya datar. “Yang orang ingin tahu adalah kenapa seorang 'Raja Sekolah' bisa ada di sini?”
Giliran Eddy memalingkan wajah dengan gugup, menyatakan bahwa ia tidak mau membicarakannya, dan itu membuat Arial mendengkus, nyaris tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa, Yang Mulia? Kau takut!”
“Tutup mulutmu!” cetus Eddy, meski nada bicaranya tak lagi lantang.
Sekali lagi, Arial terkekeh. “Dasar Pengecut! Dan bisa-bisanya kau memproklamirkan diri sebagai Raja! Omong kosong macam apa ini!”
“Demi Tuhan, tutup mulutmu, atau aku yang akan melakukannya!”
“Sudahlah, ‘Mulut Besar’! Kalian semua memang sama, cuma menang gaya, tapi tindakan nol, kosong, tidak ada! Kalian mau tahu kenapa aku ada di sini? Akan kuceritakan dengan senang hati.”
Arial berdiri dari kursinya dan berjalan ke depan, membuat semua mata menatap keheranan sekaligus ngeri. Kecuali si gadis aneh di bangku paling belakang yang malah tersenyum kecil, seolah melihat anak didiknya dengan sorot penuh rasa bangga.
Si Berandal berdeham. “Jadi ... ada seorang guru olahraga. Ah, aku lebih suka menyebutnya seorang bajingan daripada guru! Kalian pasti mengenal orang ini. Aku memberinya gelar ‘Benjamin Si Kekar Berotak Kosong, tapi Bermulut Besar’. Persis sepertimu, ‘kan Ed!”
Wajah Eddy memerah, tangannya terkepal menonjolkan urat-urat hijau. Terlebih melihat tawa renyah Arial yang begitu penuh kemenangan, penuh ejekan, serta segala hal yang tidak lagi membuatnya percaya diri. Namun, ia menahan gejolak itu akibat si berandal sedang membicarakan mentor Football kesukaannya saat ini. Sedangkan Amber mendadak berkaca-kaca, wajah mungilnya pucat pasi, sementara kedua tangan meremas rok sekuat tenaga demi menahan gemetar.
“Dia tinggi besar, jago bela diri, pergi ke Gym tiga kali seminggu. Pokoknya mustahil aku bisa mengalahkannya, benar, 'kan?” Arial melanjutkan, sorotnya tertuju kepada satu per satu penghuni meja. “Tapi coba tebak ... beberapa hari lalu aku berhasil membuatnya dirawat di UGD. Kalian mau tahu bagaimana aku melakukannya?”